Antara Jihad Dan Menuntut Ilmu
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
ANTARA JIHAD DAN MENUNTUT ILMU
Oleh: Imaamul Muslimin, K.H. Yakhsyallah Mansur, M.A.
Firman Allah :
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ (التوبة [٩]: ١٢٢)
“Tidak sepatutnya orang-orang yang beriman itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa kelompok yang memperdalam pengetahuan agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila telah kembali kepada mereka supaya mereka menjaga diri.” (QS. At Taubah [9]: 122).
ASBABUN NUZUL
Mengetahui Asbabun Nuzul (sebab turunnya ayat) adalah hal yang sangat penting untuk memahami ayat Al Qur’an. Imam al-Wahidi berkata, “Untuk mengetahui tafsir makna ayat Al Qur’an, tidak mungkin tanpa mengetahui latar belakang peristiwanya dan sebab turunnya.”
Menurut Ibnu Abi Hatim dari Ikrimah bahwa ketika turun ayat “illa tanfiru yu’adzdzibkum ‘adzaba alima” (jika kalian tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah menyiksa kalian dengan siksa yang sangat pedih) QS. At Taubah: 39. Ada beberapa orang yang jauh dari kota yang tidak ikut berperang. Berkatalah orang-orang mukmin, “Celakalah orang-orang di kampung itu karena ada orang-orang yang meninggalkan diri tidak turut berjihad bersama Rasulullah.” Maka turunlah ayat di atas yang membenarkan orang-orang meninggalkan diri dari berjihad untuk memperdalam ilmu dan mengajarkannya kepada kaumnya.
PENJELASAN
Ayat ini merupakan kelanjutan dari ayat-ayat tentang jihad yang menjelaskan pentingnya menuntut ilmu karena jihad dan menuntut ilmu adalah dua unsur pokok dalam dakwah Islam. Dengan ilmu, dakwah akan berjalan dan dengan jihad aktivitas dakwah akan terlindungi.
Melalui ayat di atas, Allah menjelaskan bahwa menuntut ilmu itu nilainya sama dengan jihad mengangkat senjata dalam rangka mempertahankan dakwah Islam. Hal ini terlihat dari hal-hal sebagai berikut.
Pertama. Kata “nafara” dalam bentuk fi’il (kata kerja). Dalam ayat-ayat Al Qur’an selain ayat di atas selalu berkonotasi perang, misalnya; Dalam ayat,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا خُذُوا حِذْرَكُمْ فَانْفِرُوا ثُبَاتٍ أَوِ انْفِرُوا جَمِيعًا (النساء [٤]: ٧١)
“Hai orang-orang yang beriman, bersiapsiagalah kamu dan majulah (ke medan perang) dengan berkelompok-kelompok atau bersama-sama.” (QS. An Nisa’ [4]: 71).
Dalam ayat lain Allah berfirman,
وَقَالُوا لَا تَنْفِرُوا فِي الْحَرِّ قُلْ نَارُ جَهَنَّمَ أَشَدُّ حَرًّا لَوْ كَانُوا يَفْقَهُونَ (التوبة [٩]: ٨١)
“Mereka berkata: “Janganlah kamu berangkat (berperang) dalam panas terik ini.” Katakanlah: “Api neraka jahannam lebih sangat panas jika mereka memahami.” (QS. At Taubah [9]: 81)
Kedua. Kata “laula” yang berarti mengapa tidak. Dengan kata-kata ini Allah menganjurkan pembagian tugas. Semua orang beriman diwajibkan berjihad dengan dua cara yakni: berperang mengangkat senjata dan memperdalam ilmu pengetahuan agama. Jika yang berperang mempertahankan agama, maka yang memperdalam ilmu pengetahuan mengerahkan jiwa dan raganya untuk mempelajari ilmu (agama). Keduanya penting dan saling mengisi.
Ketiga. Ayat di atas merupakan serangkaian dari ayat-ayat tentang peperangan sehingga dapat diambil pengertian bahwa menuntut ilmu harus tetap berjalan walaupun dalam kondisi perang sekalipun. Apabila “nafirul am” (secara umum perintah untuk berperang) sudah dikumandangkan oleh Imaamul Muslimin, seluruh umat Islam yang tidak udzur syar’i wajib menyambutnya.
Tetapi dari golongan yang menyambut seruan tersebut hendaknya tetap ada kelompok (thoifah) yang tetap tinggal di belakang untuk bersungguh-sungguh memperdalam agama. Tentang siapa yang harus berangkat ke medan perang dan yang tinggal di belakang adalah tergantung kepada kebijakan Imaamul Muslimin.
Ayat di atas telah menjadi pedoman umat Islam sejak masa Rasulullah dan masa-masa keemasan mereka.
Pada masa Rasulullah , walaupun keadaan dalam kondisi perang tetapi aktivitas menuntut ilmu tetap berjalan. Sehingga pada masa itu pembinaan umat ke dalam dan dakwah keluar berjalan dengan seimbang.
Keempat. Rasulullah bersabda,
أَقْرَبُ النَّاسِ مِنْ دَرَجَةِ النُّبُوَّةَ أَهْلُ الْعِلْمِ وَالْجِهَادِ أَمَّا أَهْلُ الْعِلْمِ فَدَلُّوا النَّاسَ عَلَى مَاجَآءَتْ بِهِ الرُّسُلُ وَأَمَّا أَهْلُ الْجِهَادِ فَجَاهَدُوْا بِأَسْيَافِهِمْ عَلَى مَا جَآءَتْ بِهِ الرُّسُلَ (وراه ابو نعيم عن ابن عباس)
“Manusia yang paling dekat dengan derajat kenabian adalah ahli ilmu dan ahli jihad. Adapun ahli ilmu mereka menunjukkan manusia apa yang dibawa oleh para Rasul sedang ahli jihad mereka berjihad dengan pedang-pedang mereka membela apa yang dibawa oleh para Rasul.” (HR. Abu Nu’aim dari Ibnu Abbas).
Walaupun hadits ini sanadnya dhaif, tetapi matannya sesuai dengan Al Qur’an sehingga menurut para ahli hadits dapat dijadikan pedoman.
Ulama sekaligus Mujahid
Pada masa khulafaurrasyidin sampai pada masa menjelang keruntuhan Dinasti Turki Utsmani kondisi tersebut tetap sama sehingga lahirlah pejuang-pejuang yang faqih dalam agama. Para khalifah yang empat; Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali di samping pemimpin umat dan panglima perang mereka juga ulama yang faqih dalam agama.
Abdullah bin Mas’ud pembunuh Abu Jahal di perang Badar adalah seorang ulama. Salim Maula Abu Hudzaifah adalah pahlawan perang Yamamah dalam menghadapi Musailamah al Kadzab adalah seorang penghafal dan qurra (guru Al Qur’an). Ibnu Taimiyah seorang ulama penghidup sunnah ikut mengangkat senjata ketika pasukan Mongol menyerang Damaskus.
Setelah kaum Muslimin mundur di akhir Dinasti Usmani, orang belajar agama karena mengelak panggilan jihad di medan perang. Orang Mesir banyak lari ke Al Azhar untuk menjadi ulama karena Kerajaan Turki Utsmani tidak mewajibkan ulama dalam panggilan perang. Inilah sebagian sebab kehancuran umat Islam karena para ulama tidak memperhatikan jihad, sementara itu yang maju ke medan jihad kurang mengenal ajaran agama.
Dari uraian di atas diketahui bahwa Islam tidak mengenal militerisme. Semua umat Islam adalah mujahid. Hanya Imaamul Muslimin/Khalifah yang berhak membagi tugas siapa yang maju ke medan perang dan siapa yang harus tetap tinggal di garis belakang untuk tetap menekuni agama. Kedua kelompok ini bukan orang-orang khusus tetapi seluruh umat Islam.
Pada ayat di atas disebutkan bahwa orang yang mendalami agama (tafaqqohu fid din), ketika kelompok yang lain maju ke medan perang, memiliki tanggung jawab memberi peringatan kepada kelompok tersebut ketika mereka telah kembali ke tengah-tengah mereka agar mereka menjaga diri.
Ketika menjelaskan pengertian “untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila telah kembali kepada mereka supaya mereka menjaga diri”, Al-Maraghi mengatakan, “Agar orang yang mendalami agama itu tujuan utamanya adalah mengajar orang-orang yang kembali dari medan perang dan mengingatkan mereka akibat buruk dari kebodohan dan tidak mengamalkan ilmu yang telah dipelajari dengan harapan mereka takut kepada Allah dan menghindari segala kemaksiatan.”
Dengan demikian seluruh orang yang beriman baik yang tinggal di garis belakang untuk mendalami agama maupun yang berangkat ke medan perang dapat mengetahui ajaran agama dan mampu mendakwahkannya, membelanya dengan argumen-argumen yang kuat serta menjelaskan rahasia-rahasianya. Jangan sampai orang beriman menuntut ilmu hanya untuk ambisi menjadi pemimpin, meraih pangkat yang tinggi, mengangkat harga diri, menumpuk-numpuk harta dan mengikuti prilaku para pejabat yang selalu bersaing untuk saling menjatuhkan antara yang satu dengan yang lain.
Ayat ini mengisyaratkan tentang kemuliaan individu dan masyarakat yang memahami agama. Al-Baghawi setelah menjelaskan ayat ini menukilkan sebuah hadits:
عَنْ مُعَاوِيَةَ قَالَ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ: مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ (متفق عليه)
“Dari Mu’awiyah berkata, Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, dia akan diberi pemahaman tentang agama.” (Muttafaq Alaih)
Kata “faqih” pada mulanya dipakai orang Arab untuk orang yang ahli dalam mengawinkan unta, yang mampu membedakan unta betina yang sedang birahi dan unta yang bunting.
Pada masa Rasulullah kata fiqh tidak hanya dikenakan dalam pengertian hukum saja, tetapi mempunyai arti yang lebih luas mencakup semua aspek dalam agama. Rasulullah pernah mendoakan Ibnu Abbas: “Ya Allah, berikan dia pemahaman yang mendalam tentang agama dan ajarkan ta’wil kepadanya.” Jelas di sini Rasulullah tidak memaksudkan pemahaman hukum semata, tetapi memahami agama (Islam) secara umum.
Menurut Hasan Al Bashri, di antara sifat-sifat orang yang memahami agama (faqih) adalah zuhud (tidak mementingkan kehidupan dunia), cinta kepada kehidupan akhirat, selalu beribadah kepada Allah , wara’ (berhati-hati dalam kehidupan dunia), selalu menahan diri dari perselisihan dengan sesama muslim, selalu memberi nasehat kepada orang banyak dan berhati-hati dalam berfatwa.
Wallahu A’lam bis-Shawwab