Pencegahan Korupsi Dalam Perspektif Al-Qur’an dan As-Sunnah
Pencegahan Korupsi Dalam Perspektif Al-Qur’an dan As-Sunnah
Oleh: Imaamul Muslimin, K.H. Yakhsyallah Mansur, M.A.
Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
وَمَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَن يَغُلَّ ۚ وَمَن يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۚ ثُمَّ تُوَفَّىٰ كُلُّ نَفْسٍ مَّا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ – ال عمران [٣]: ١٦١
“Dan tidak mungkin seorang nabi berkhianat (korupsi) dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa berkhianat (korupsi), niscaya pada hari Kiamat dia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya (dikorupsinya) itu. Kemudian setiap orang akan diberi balasan yang sempurna sesuai dengan apa yang dilakukannya, dan mereka tidak dizhalimi.” (Q.S. Ali Imran [3]: 161)
Menurut Abu Dawud dan Tirmidzi, ayat ini turun berkenaan dengan hilangnya permadani merah, rampasan perang Badar yang belum dibagikan. Sebagian orang berkata, “Barangkali diambil oleh Rasulullah ﷺ .” Maka turunlah ayat ini membantah tuduhan tersebut.
Para ulama menjadikan ayat ini dasar larangan melakukan korupsi.
Islam mengistilahkan korupsi dalam beberapa etimologi di antaranya, risywah (menyuap), ghasab (menggunakan barang milik orang lain tanpa izin), ghurur (menipu), khiyanah (cidera), maksu (pungutan liar), dan ghulul (menggelapkan).
Ayat di atas di samping membersihkan Nabi ﷺ dari semua unsur perilaku korup, juga mengandung ancaman keras dan larangan melakukan korupsi dengan segala bentuknya.
Ketika menafsirkan ayat ini Ibnu Katsir dalam “Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim” menukilkan beberapa hadis, antara lain:
عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: أَعْظَمُ الْغُلُوْلِ عِنْدَ اللَّهِ ذِرَاعٌ مِنَ الْأَرْضِ تَجِدُوْنَ الرَّجُلَيْنِ جَارَيْنِ فِى الْأَرْضِ أَوْ فِى الدَّارِ فَيَقْتَطِعُ أَحَدُهُمَا مِنْ حَظِّ صَاحِبِهِ ذِرَاعًا فَإِذَا اقْتَطَعَهُ طُوِّقَهُ مِنْ سَبْعِ أَرَضِيْنَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ – رواه أحمد
“Korupsi yang paling besar di sisi Allah adalah sehasta tanah. Kalian menjumpai dua orang lelaki bertetangga tanah miliknya atau rumah miliknya, lalu salah seorang dari keduanya mengambil sehasta dari milik temannya. Apabila ia mengambilnya, niscaya tanah itu akan dikalungkan kepadanya dari tujuh lapis bumi di hari kiamat.” (H.R. Ahmad)
Beliau ﷺ juga bersabda: “Barangsiapa bekerja untuk kita, hendaklah mencari istri; dan jika belum punya pembantu, hendaknya mencari pembantu; dan jika belum punya rumah, hendaknya mencari rumah.” Selanjutnya beliau bersabda, “Barangsiapa yang mengambil selain dari itu, berarti dia adalah koruptor atau pencuri.” (H.R. Abu Dawud)
Pada ayat di atas juga disebutkan bahwa barang siapa melakukan korupsi maka pada hari kiamat dia akan datang membawa barang yang dikorupsinya.
Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ pernah mengangkat seorang lelaki dari Bani Al-Azdi yang bernama Ibnu Lutbiyyah sebagai amil (pemungut) zakat. Lalu dia datang dan mengatakan, “Ini untuk kalian dan ini dihadiahkan untukku.” Maka beliau ﷺ berdiri di atas mimbar, lalu bersabda, “Apakah gerangan yang dilakukan oleh seorang amil yang kami kirim, lalu dia datang dan mengatakan, ‘Ini untuk kalian dan ini dihadiahkan kepadaku’. Mengapa dia tidak duduk saja di rumah ayah dan ibunya, lalu menunggu apakah dia diberi hadiah ataukah tidak? Demi Tuhan yang jiwa Muhammad ﷺ di tangan-Nya, tidak sekali-kali seseorang di antara kalian mengambil sesuatu darinya melainkan ia datang di hari kiamat seraya memikulnya di atas pundaknya. Jika yang diambil berupa unta, dia akan mengeluarkan suaranya; atau berupa sapi, maka dia melenguh; atau berupa kambing, maka dia mengembik.”
Kemudian beliau ﷺ mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi hingga kami melihat kulit ketiaknya, lalu bersabda, “Ya Allah bukankah aku telah menyampaikan, sebanyak tiga kali.”
Dalam hadis yang lain beliau ﷺ bersabda:
هَدَايَا الْعُمَّالِ غُلُوْلٌ – رواه أحمد
“Hadiah-hadiah yang diterima oleh para petugas (amil) adalah korupsi.” (H.R. Ahmad)
Melalui Al-Qur’an dan As-Sunnah, Islam telah memberikan tuntunan kepada umatnya untuk mencegah dan mengatasi tindak pidana kejahatan korupsi, antara lain:
- Menghadirkan Allah dalam Bekerja
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ ۖ وَسَتُرَدُّونَ إِلَىٰ عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ – التوبة [٩]: ١٠٥
“Dan katakanlah, “Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Q.S. At-Taubah [9]: 105)
Apabila seseorang dalam bekerja merasa selalu dilihat dan diperhatikan oleh Allah maka dia selalu berusaha agar pekerjaannya baik dan benar karena Allah itu Maha Baik dan Benar dan tidak akan menerima kecuali yang baik dan yang benar. Apalagi bagi Allah tidak ada yang rahasia. Seandainya di dunia dia dapat menutupi pekerjaan buruknya tetapi di akhirat kelak akan ditampakkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala di hadapan semua makhluk-Nya. Bahkan pekerjaan orang yang hidup akan diperlihatkan kepada keluarganya di alam kuburnya, sebagaimana disebutkan dalam hadis:
إِنَّ أَعْمَالَكُمْ تُعْرَضُ عَلَى عَشَائِرِكُمْ وَأَقْرِبَائِكُمْ فِي قُبُورِهِمْ، فَإِنْ كَانَ خَيْرًا اسْتَبْشَرُوا بِهِ، وَإِنْ كَانَ غَيْرَ ذَلِكَ قَالُوا: اللَّهُمَّ أَلْهِمْهُمْ أَنْ يَعْمَلُوا بِطَاعَتِكَ – رواه أبو داود الطيالسى
“Sesungguhnya pekerjaan kalian akan ditampakkan kepada kerabat dan keluarga kalian di kubur mereka. Apabila pekerjaan kalian baik mereka bergembira dan apabila tidak baik mereka berdoa, Ya Allah berilah mereka petunjuk agar mereka dapat bekerja dengan mentaati-Mu.” (H.R. Abu Dawud Thayalisi)
- Larangan Menerima Hadiah dan Suap
Sebagaimana disebut dalam hadis di atas bahwa hadiah yang diterima pegawai adalah korupsi. Rasulullah ﷺ juga bersabda:
مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا، فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ – رواه أبو داود
“Barangsiapa yang kami beri tugas dan sudah kami beri gaji maka apa yang diambil selain itu adalah korupsi.” (H.R. Abu Dawud)
Dalam hadis yang lain disebutkan:
لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الرَّاشِى وَالْمُرْتَشِى – رواه أحمد
“Kutukan Allah atas penyuap dan pemberi suap.” (H.R. Ahmad)
Ketika Abdullah bin Rawahah Radhiyallahu Anhu (pahlawan yang syahid di Perang Mu’tah) tengah menjalankan tugas dari Rasulullah ﷺ membagi dua hasil bumi tanah Khaibar, separuh untuk kaum Muslimin dan sisanya untuk orang Yahudi, seorang Yahudi datang kepadanya memberi suap seperangkat perhiasan, agar dia mau memberikan bagian lebih separuh kepada orang Yahudi. Abdullah bin Rawahah Radhiyallahu Anhu menolak tawaran ini dengan keras dan berkata, “Suap yang kalian tawarkan adalah haram dan kami Muslimin tidak memakannya.”
Mendengar hal ini orang Yahudi berkata, “Karena ketegasan Abdullah, langit dan bumi tegak.”
- Teladan Para Pemimpin
Pemberantasan korupsi akan berhasil bila para pemimpin bersih dari korupsi dan melaksanakan tugas dengan amanah. Khalifah Umar bin Khattab Radhiyallahu Anhu pernah menyita sendiri unta gemuk milik anaknya, Abdullah karena kedapatan digembalakan bersama unta lain di padang rumput milik Baitul Mal. Hal ini dinilai Khalifah sebagai menggunakan fasilitas umum untuk kepentingan pribadi.
Hal ini juga dilakukan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz, beliau sampai menutup hidungnya, agar tidak mencium bau secara tidak hak, ketika membagi minyak kesturi kepada rakyat.
- Perhitungan Kekayaan Pejabat
Pada masa Umar bin Khattab Radhiyallahu Anhu menjadi khalifah, beliau menghitung kekayaan para amir di awal dan di akhir masa tugasnya. Apabila terdapat kenaikan kekayaan yang tidak wajar, yang bersangkutan diminta membuktikan bahwa kekayaan yang dimilikinya didapat dengan cara yang halal. Apabila dia tidak dapat membuktikan dengan benar, Umar Radhiyallahu Anhu memerintahkannya untuk menyerahkan kelebihan harta itu ke Baitul Mal, atau membagi dua, sebagian untuk yang bersangkutan dan sisanya untuk Baitul Mal.
- Pengawasan Masyarakat
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ ۗ – ال عمران [٣]: ١١٠
“Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah...” (Q.S. Ali Imran [3]: 110)
Ayat ini adalah satu ayat yang memerintahkan umat Islam melaksanakan amar makruf dan nahi munkar sebagai salah satu bentuk pengawasan masyarakat.
Abul A’la Al-Maududi menjelaskan bahwa tujuan utama syariat Islam adalah membangun kehidupan manusia yang memiliki kepedulian terhadap masyarakat dengan melaksanakan amar makruf dan nahi munkar.
Kata makruf menunjukkan kepada kebaikan dan sifat baik yang berlaku sepanjang masa dan diterima oleh hati manusia.
Kata munkar menunjukkan semua kejahatan yang berlaku sepanjang masa dan ditolak oleh watak manusia.
Pada ayat ini amar makruf dan nahi munkar penyebutannya didahulukan dibanding iman kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, padahal iman itu selalu berada di depan berbagai jenis amal ketaatan. Hal ini karena amar makruf dan nahi munkar merupakan pintu keimanan dan yang memeliharanya. Jadi iman tidak akan tumbuh dan terpelihara apabila tidak ada amar makruf dan nahi munkar. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa ketika orang melakukan kejahatan berarti imannya telah hilang. Rasulullah ﷺ bersabda:
لَا يَزْنِى الزَّانِى حِيْنَ يَزْنِى وَ هُوَ مُؤْمِنٌ. وَ لَا يَسْرِقُ السَّارِقُ حِيْنَ يَسْرِقُ وَ هُوَ مُؤْمِنٌ. وَ لاَ يَشْرَبُ اْلخَمْرَ حِيْنَ يَشْرَبُهَا وَ هُوَ مُؤْمِنٌ. – رواه مسلم
“Tidaklah berzina seorang pezina ketika dia berzina dalam keadaan beriman, tidaklah mencuri seorang pencuri ketika dia mecuri dalam keadaan beriman, dan tidaklah meminum khamr seorang peminum ketika meminumnya dalam keadaan beriman.” (H.R. Muslim)
Oleh karena itu sudah tepat apa yang disebut dengan Everybody is KPK dan harus terus dimasyarakatkan.
- Hukuman yang Setimpal
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِّنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ – المائدة [٥]: ٣٨
“Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (Q.S. Al-Maidah [5]: 38)
Pada dasarnya orang takut kepada hukuman. Oleh karena itu syari’at Islam menetapkan berbagai hukuman untuk beberapa tindak kejahatan sebagai zawajir (pencegah) agar orang-orang jera melakukan kejahatan.
Dalam Islam koruptor dapat dikenai hukuman ta’zir berupa tasyhir atau pewartaan, penyitaan harta, hukuman denda dan kurungan, bahkan sampai hukuman had berupa potong tangan.
Hanya saja untuk memberlakukan hukuman potong tangan bagi koruptor harus dengan pertimbangan yang sangat matang dan berhati-hati. Rasulullah ﷺ bersabda:
ادْرَأُوْا الْحُدُوْدَ بِالشُّبُهَاتِ… – رواه ابو داود
“Tinggalkanlah hukuman sebab adanya syubhat (keraguan).” (H.R. Abu Dawud)
Dalam riwayat lain beliau ﷺ bersabda, “Tangguhkan hukuman terhadap orang Islam semampumu. Jika ada jalan keluar, maka biarkan mereka melewati jalan itu.” (H.R. Abu Dawud dan An-Nasa’i)
Dengan pemahaman dan semangat seperti ini, Umar bin Khattab ketika menjadi khalifah tidak menjatuhkan hukuman potong tangan bagi pencuri di masa paceklik. Umar juga melarang potong tangan pencuri harta Baitul Mal karena dia menganggap pencuri itu mempunyai hak terhadap harta Baitul Mal.
- Memberikan Gaji dan Fasilitas yang Layak
Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
وَلَا تَنسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ ۚ … – البقرة [٢]: ٢٣٧
“…Dan janganlah kamu lupa kebaikan di antara kamu...” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 237)
Ayat ini mengajarkan manusia untuk menghargai orang lain dan tidak melupakan kebaikan orang lain. Walaupun secara tekstual ayat ini berhubungan dengan masalah perceraian.
Oleh karena itu pada hadis di atas Rasulullah ﷺ memerintahkan untuk mencukupi keperluan pegawai berupa rumah, kendaraan dan pembantu. (H.R. Abu Dawud)
Abu Ubaidah Radhiyallahu Anhu pernah berkata kepada Khalifah Umar Radhiyallahu Anhu, “Cukupilah para pegawaimu agar mereka tidak khianat (korupsi).”
- Saling Memberi Nasehat
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَالْعَصْرِ. إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ. إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ – العصر [١٠٣]: ١-٣
“Demi masa, sesungguhnya manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.” (Q.S. Al-Ashr [103]: 1-3)
Mengomentari surat ini Imam Syafi’i berkata, “Jika sekiranya Al-Qur’an hanya diturunkan satu surat saja, maka surat ini sudah cukup menjadi pedoman bagi manusia.”
Surat ini menunjukkan betapa pentingnya saling memberi nasehat dalam kebenaran dan kesabaran, di samping pentingnya menghargai waktu, iman dan amal shalih agar manusia tidak rugi di dunia dan di akhirat.
وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَّابِ