BERKURBAN
Oleh : Iman Sulaeman, S.Pd.I.*
Kurban disyariatkan kepada umat Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam dimaksudkan untuk mengingatkan kembali nikmat Allah Ta’ala kepada Nabi Ibrahim as, karena taat dan patuhnya kepada perintah Allah SWT walau diperintahkan untuk menyembelih anaknya sendiri. syariat ini tidak lain untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala (bertaqarrub).
1. Pengertian
Berqurban merupakan bahasa arab yang sudah diindonesiakan, yaitu dari kata dasar ‘qurbaanan’ yang berarti mendekatkan atau mempersembahkan. Seperti kalimat ‘qorroba al qurbaana lillaah’ artinya telah mengerjakan kurban karena Allah. Adapun hewan kurbannya disebut ‘al Udhiyyah’ dan pelaksanaan penyembelihannya disebut ‘nahar’. Adapun hari penyembelihannya disebut ‘yaumu an nahr’ (lihat Qomus karya Mahmud Yunus, 330). Namun pengertian disini lebih menitik beratkan pada ‘al Udhiyyah’ yakni hewan sembelihannya.
Jadi secara istilah al Udhiyyah adalah binatang ternak yang disembelih di hari raya kurban sampai akhir hari Tasyriq untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala karena datangnya hari raya tersebut. (lihat Al Wajiz, 405 dan Shahih Fiqih Sunnah II/366).
2. Dalil–dalil tentang Berkurban
Allah subhanahu wa ta’ala dan RasulNya telah mensyari’atkan berkurban bagi umat Islam. Berdasar dalil Al-Qur’an dan Sunnah sebagai berikut :
a. Al-Qur’an
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah”(Qs. Al-Kautsar : 2)
Di dalam tafsir at Thabari dinukilkan pendapat Ibn Abbas bahwa yang dimaksud dengan ‘wan har’ adalah perintah beribadah dan menyembelih hewan qurban. (lihat Tafsir at Thabari, 24/653). Karena adanya perbedaan pendapat tentang arti an nahr, maka Ibnu Katsir menegaskan, bahwa yang benar yang dimaksud dengan an nahr adalah menyembelih hewan qurban (Tafsir Ibnu Katsir, 8/503).
b. Al-Hadits
عَنْ الْبَرَاءِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أَوَّلَ مَا نَبْدَأُ بِهِ فِي يَوْمِنَا هَذَا أَنْ نُصَلِّيَ ثُمَّ نَرْجِعَ فَنَنْحَرَ مَنْ فَعَلَهُ فَقَدْ أَصَابَ سُنَّتَنَا وَمَنْ ذَبَحَ قَبْلُ فَإِنَّمَا هُوَ لَحْمٌ قَدَّمَهُ لِأَهْلِهِ لَيْسَ مِنْ النُّسُكِ فِي شَيْءٍ فَقَامَ أَبُو بُرْدَةَ بْنُ نِيَارٍ وَقَدْ ذَبَحَ فَقَالَ إِنَّ عِنْدِي جَذَعَةً فَقَالَ اذْبَحْهَا وَلَنْ تَجْزِيَ عَنْ أَحَدٍ بَعْدَكَ قَالَ مُطَرِّفٌ عَنْ عَامِرٍ عَنْ الْبَرَاءِ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ ذَبَحَ بَعْدَ الصَّلَاةِ تَمَّ نُسُكُهُ وَأَصَابَ سُنَّةَ الْمُسْلِمِينَ
Dari Al Barra` ra dia berkata; Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya yang pertama kali kita lakukan pada hari ini (‘iedul adha) adalah mengerjakan shalat kemudian pulang dan menyembelih binatang kurban, barangsiapa melakukan hal itu, maka dia telah bertindak sesuai dengan sunnah kita, dan barang siapa menyembelih binatang kurban sebelum (shalat ied), maka sesembelihannya itu hanya berupa daging yang ia berikan kepada keluarganya, tidak ada hubungannya dengan ibadah kurban sedikitpun.” Lalu Abu Burdah bin Niyar berdiri seraya berkata; “Sesungguhnya aku masih memiliki jad’ah (anak kambing yang berusia dua tahun), maka beliau bersabda: “Sembelihlah, namun hal itu tidak untuk orang lain setelahmu.” Muttharif berkata; dari ‘Amir dari Al Barra`, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa menyembelih (hewan kurban) setelah shalat (ied) maka ibadah kurbannya telah sempurna dan dia telah melaksanakan sunnah kaum Muslimin dengan tepat.” (HR. Bukhari, shahih Jami’ Bukhari, bab. Berkurban, nomor 5119).
عَنْ قَتَادَةَ حَدَّثَنَا أَنَسٌ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُضَحِّي بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ وَيَضَعُ رِجْلَهُ عَلَى صَفْحَتِهِمَا وَيَذْبَحُهُمَا بِيَدِهِ
Dari Qatadah telah menceritakan kepada kami Anas ra bahwa Nabi saw pernah berkurban dengan dua ekor domba yang warna putihnya lebih banyak daripada warna hitamnya dan bertanduk, beliau meletakkan kaki beliau di atas rusuk domba tersebut lalu menyembelihnya dengan tangan beliau sendiri.” (HR. Bukhari, shahi Jami’ Bukhari, bab. Berkurban, nomor 5138).
Dengan adanya dua hadits ini menunjukan bahwa berkurban merupakan syari’at yang telah diperintahkan dan dicontohkan oleh Rasulullah saw.
3. Hukum berkurban
Dalam hal ini pendapat para ulama terbagi dalam dua pandangan:
Pertama, wajib bagi orang yang berkelapangan. Ulama yang berpendapat demikian adalah Rabi’ah (guru Imam Malik), Al Auza’i, Abu Hanifah, dan Imam Ahmad. Diantara dalilnya adalah hadits Abu Hurairah yang menyatakan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang berkelapangan (harta) namun tidak mau berkurban maka jangan sekali-kali mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ibnu Majah 3123, Al Hakim 7672 dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani).
Pendapat kedua, menyatakan Sunnah Mu’akkadah (ditekankan). Dan ini adalah pendapat mayoritas ulama yaitu Malik, Syafi’i, Ahmad, Ibnu Hazm dan lain-lain. Ulama yang mengambil pendapat ini berdalil dengan riwayat dari Abu Mas’ud Al Anshari ra. Beliau mengatakan, “Sesungguhnya aku sedang tidak akan berkurban. Padahal aku adalah orang yang berkelapangan. Itu kulakukan karena aku khawatir kalau-kalau tetanggaku mengira kurban itu adalah wajib bagiku.” (HR. Abdur Razzaq dan Baihaqi dengan sanad shahih). Demikian pula dikatakan oleh Abu Sarihah, “Aku melihat Abu Bakar dan Umar sementara mereka berdua tidak berkurban.” (HR. Abdur Razzaaq dan Baihaqi, sanadnya shahih) Ibnu Hazm berkata, “Tidak ada riwayat sahih dari seorang sahabatpun yang menyatakan bahwa kurban itu wajib.” (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/367-368, Taudhihul Ahkaam, IV/454).
Dalil-dalil di atas merupakan dalil pokok yang digunakan masing-masing pendapat. Jika dijabarkan semuanya menunjukkan masing-masing pendapat sama kuat. Sebagian ulama memberikan jalan keluar dari perselisihan dengan menasehatkan, “…selayaknya bagi mereka yang mampu, tidak meninggalkan berkurban. Karena dengan berkurban akan lebih menenangkan hati dan melepaskan tanggungan, wallahu a’lam.” (Tafsir Adwa’ul Bayan, 1120).
Sedangkan hukum berkurban bagi orang yang sudah meninggal tidak ada nash yang sharih (jelas) untuk dijadikan hujjah (alasan), karena hukum disyari’atkannya berkurban hanya bagi orang yang masih hidup. Wallahu ‘alam.
4. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam bekurban
a. Orang yang mau berkurban
Orang yang mau berkurban dilarang memotong rambut dan kukunya, sebagaimana sabda Rasulullah saw:
عن أُمّ سَلَمَةَ زَوْج النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قالت: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَانَ لَهُ ذِبْحٌ يَذْبَحُهُ فَإِذَا أُهِلَّ هِلَالُ ذِي الْحِجَّةِ فَلَا يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلَا مِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّيَ
Dari Ummu Salamah r, dia berkata, “Rasulullah saw telah bersabda, ‘Barangsiapa yang mempunyai hewan ternak yang hendak disembelih, maka apabila hilal (bulan) Dzul Hijjah telah nampak, janganlah sekali-kali ia mengambil rambut ataupun kukunya, walaupun hanya sedikit, hingga ia menyembelihnya.” (HR. Muslim, nomor 1256).
b. Hewan kurban
Hewan / binatang ternak boleh dijadikan kurban apabila telah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut ;
- Masuk umur
عَنْ جَابِرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَذْبَحُوا إِلَّا مُسِنَّةً إِلَّا أَنْ يَعْسُرَ عَلَيْكُمْ فَتَذْبَحُوا جَذَعَةً مِنْ الضَّأْنِ
Dari Jabir bin Abdullah ra, dia berkata, “Rasulullah saw telah bersabda, ‘Hendaklah kalian menyembelih hewan kurban yang telah cukup umur (Musinnah), kecuali jika memang sulit bagi kalian untuk mendapatkannya, maka kalian boleh menyembelih domba berumur satu tahun (Jadza’ah).” (HR. Muslim, nomor 1259. Bukhari, nomor 5130-5131).
Kata Jadza’ah ada yang mengartikan satu tahun, ada juga yang mengartikan enam bulan. Maka dalam hal ini kami mengambil pendapat satu tahun, Karena mengambil dari kedekatan pada batas waktu tanggalnya gigi domba, meskipun ada riwayat lain yang menerangkan bahwa Rasulullah lebih menyukai umur hewan kurban yang masih muda. Wallahu a’lam.
Kalau diklasifikasikan maka, umur domba dan kambing minimal usia 1 tahun masuk 2 tahun atau sudah tanggal/copot gigi, sapi umurnya genap 2 tahun masuk 3 tahun, dan unta umurnya genap 5 tahun masuk 6 tahun.
- Tidak cacat dan sakit
Sebagaimana sabda Rasulullah saw;
عَنْ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ مَاذَا يُتَّقَى مِنْ الضَّحَايَا فَأَشَارَ بِيَدِهِ وَقَالَ أَرْبَعًا وَكَانَ الْبَرَاءُ يُشِيرُ بِيَدِهِ وَيَقُولُ يَدِي أَقْصَرُ مِنْ يَدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعَرْجَاءُ الْبَيِّنُ ظَلْعُهَا وَالْعَوْرَاءُ الْبَيِّنُ عَوَرُهَا وَالْمَرِيضَةُ الْبَيِّنُ مَرَضُهَا وَالْعَجْفَاءُ الَّتِي لَا تُنْقِي
Dari Barra bin ‘Azib berkata, “Rasulullah saw ditanya, ‘Apa yang harus dijauhi untuk hewan kurban?’ Beliau memberikan isyarat dengan tangannya lantas bersabda, “Ada empat.” Barra’ lalu memberikan isyarat juga dengan tangannya dan berkata; “Tanganku lebih pendek daripada tangan Rasulullah saw: (empat perkara tersebut adalah) hewan yang jelas-jelas pincang kakinya, hewan yang jelas butanya, hewan yang sakit dan hewan yang kurus dan lemah yang tidak ada dagingnya.” (HR. Malik, nomor 912)
c. Waktu berkurban
عن جُنْدَب بْن سُفْيَان قَالَ شَهِدْتُ الْأَضْحَى مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَعْدُ أَنْ صَلَّى وَفَرَغَ مِنْ صَلَاتِهِ سَلَّمَ فَإِذَا هُوَ يَرَى لَحْمَ أَضَاحِيَّ قَدْ ذُبِحَتْ قَبْلَ أَنْ يَفْرُغَ مِنْ صَلَاتِهِ فَقَالَ مَنْ كَانَ ذَبَحَ أُضْحِيَّتَهُ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ أَوْ نُصَلِّيَ فَلْيَذْبَحْ مَكَانَهَا أُخْرَى وَمَنْ كَانَ لَمْ يَذْبَحْ فَلْيَذْبَحْ بِاسْمِ اللَّهِ
Dari Jundab bin Sufyan ra, dia berkata, “Saya pernah mengalami hari raya Kurban bersama Rasulullah SAW. Beliau melakukan shalat dengan sempurna dan kemudian salam. Tiba-tiba beliau melihat hewan kurban sudah disembelih sebelum beliau menyelesaikan shalatnya. Lalu beliau pun bersabda, “Barangsiapa telah menyembelih hewan kurbannya sebelum shalat Idul Adha selesai, maka hendaklah ia menyembelih hewan lain sebagai gantinya, dan barang siapa belum menyembelih hewan kurban, maka hendaklah ia menyembelihnya dengan menyebut nama Allah.” (HR. Muslim, nomor 1257. Bukhari, nomor 5130-5131)
Jadi, melaksanakan penyembelihan hewan kurban dilakukan setelah dilaksanakannya shalat ‘ied. Tidak sah berkurban bila sembelihan hewan dilakukan sebelum shalat ‘ied. Dan hadits ini juga menerangkan, ketika menyembelih harus membaca basmalah.
d. Bertakbir ketika menyembelih hewan
عَنْ أَنَسٍ قَالَ ضَحَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ ذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ وَسَمَّى وَكَبَّرَ وَوَضَعَ رِجْلَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا
Dari Anas dia berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkurban dengan dua ekor domba yang warna putihnya lebih dominan di banding warna hitamnya, dan bertanduk, beliau menyembelih domba tersebut dengan tangan beliau sendiri sambil menyebut nama Allah dan bertakbir dan meletakkan kaki beliau di atas rusuk domba tersebut.” (HR. Bukhari, nomor 5139).
5. Hikmah berkurban
- Mendekatkan diri pada Allah subhaanahu wa ta’ala
- Menghidupkan sunnah
- Memberikan kelapangan dan melatih keshabaran kepada keluarga
- Berbagi dengan fakir miskin
- Bersyukur kepada Allah subhaanahu wa ta’ala
Wallahu A’lam Bish Shawwab
*Guru Ponpes. Al-Fatah Cileungsi, Bogor.
Maraji’ :
- Abu Ja’far Muhammad bin Jarir At-Thabary,Tafsir At-Thabary, (Daarul Ma’arif : Mesir, 1374 H)
- Abu al Fida Ismail bin Amer bin Katsir bin Dara’ ad Dimasyqy al Qurasyi, Tafsir Al-Qur’anul ‘Adzim, (Daaru as Sya’by : Riyadh, 1417 H)
- Imam Al-Bukhari, Shahih Bukhari
- Imam Muslim, Shahih Muslim
- Malik bin Anas, Al-Muwatha’, (Daarul Hadits : Kairo, 2005)
- Taudhihul Ahkam
- Serta kitab yang lainnya