Islam dan Kekuasaan (Non Politik)
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman ;
قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَن تَشَاءُ وَتَنزِعُ الْمُلْكَ مِمَّن تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَن تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَن تَشَاءُ ۖ بِيَدِكَ الْخَيْرُ ۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Artinya : Katakanlah: “Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Q.S. Ali ‘Imran [3]:26)
Asbabun Nuzul,
Imam Al-Baghawi dan Al-Wahidy meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas dan Anas Bin Malik berkata : “Ketika Rasulullah Shallallhu ‘Alaihi Wasallam berhasil membebaskan kota Makkah, Beliau menjanjikan kepada ummat Islam bahwa Kerajaan Persia dan Kerajaan Romawi juga akan dibebaskan, kemudian orang munafik dan orang yahudi berkata, “Tidak mungkin, tidak mungkin dari mana Muhammad dapat membebaskan Kerajaan Parsi dan Kerajaan Romawi karena kerajaan ini sangat kuat dan kokoh. Apakah Makkah dan Madinah tidak cukup bagi Muhammad sehingga ingin menguasai kerajaan Parsi dan Romawi ?”. Maka Allah menurunkan ayat di atas.
Penjelasan
Ayat ini merupakan sebagian ayat yang menunjukkan kekuasaan Allah, bahwa Dialah penguasa yang sebenarnya disebut kau pada ayat lain :
تَبَارَكَ الَّذِي بِيَدِهِ الْمُلْكُ وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Artinya : Maha Suci Allah Yang di tangan-Nya-lah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, (Q.S. Al-Mulk [67] : 1)
Kekuasaan manusia berapapun besarnya hanyalah pinjaman Allah dan naiknya seorang menjadi penguasa hanyalah setelah adanya pengakuan dari orang lain. Sedang Allah sebagai yang Maha Kuasa tidaklah berkuasa karena diangkat, dan seandainya semua makhluk di muka bumi tidak mau mengakui kekuasaan Allah, Allah tetap Maha Kuasa maka pada ayat di atas, Allah mengajarkan kepada manusia dengan ungkapan ta’dzim tentang kekuasaan. Dilihat dari segi kata-kata, ayat di atas bernuansakan do’a, dari segi makna merupakan pengharapan, dari segi isi merupakan sentuhan halus pada perasaan manusia agar tidak berambisi kepada kekuasaan; dari segi “kauniyah” menunjukkan betapa besarnya kekuasaan Allah dalam mengatur alam raya ini dan manusia hanya bagian kecil dari bagian alam raya yang maha luas ini.
Menurut Ahmad Musthafa Al-Maraghi ayat di atas merupakan hiburan untuk Nabi Muhammad Shallallhu ‘Alaihi Wasallam menghadapi orang yang menentang Islam sekaligus sebagai peringatan untuk beliau akan kekuasaan Allah yang mampu menolong agama-Nya dan meluhurkan kalimat-Nya.
Said Ramadhan Al-Butty menyatakan bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berjuang bukanlah untuk mencapai suatu kekuasaan atau mencapai jabatan tertinggi sebagai penguasa atau raja.
Ibnu Hisyam dan Ibnu Ishaq meriwayatkan bahwa ‘Uthbah bin Rabi’ah, salah satu cendekiawan kafir Quraysi datang menghadap Nabi Shallallhu ‘Alaihi Wasallam agar beliau menghentikan dakwahnya sambil berkata “Wahai pura saudaraku, jika dengan dakwah yang anda lakukan itu anda ingin mendapatkan harta, maka kami akan kumpulkan semua harta yang ada pada kami untuk anda sehingga anda menjadi orang yang terkaya di kalangan kami. Jika anda menginginkan kehormatan dan kemuliaan, Anda akan kami angkat sebagai pemimpin dan kami tidak memutuskan persoalan apapun tanpa persetujuan Anda. Jika Anda ingin menjadi raja, kami bersedia menobatkan anda sebagai raja kami. Jika Anda tidak sanggup menangkal jin yang masuk ke dalam diri Anda, kami bersedia mencari tabib untuk menyembuhkan anda tanpa menghitung biaya yang diperlukan sampai Anda sembuh”. Ketika tawaran Uthbah bin Rabi’ah ini ditolak oleh Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam, para pembesar quraisy beramai-ramai mendatangi beliau dengan menawarkan apa yang ditawarkan oleh Uthbah. Kepada mereka beliau menyampaikan : “Aku tidak memerlukan semua yang kamu tawarkan. Aku berdakwah tidak karena menginginkan harta kekayaan, kehormatan, atau kekuasaan. Tetapi Allah mengutusku sebagai Rasul. Dia menurunkan kitab kepadaku dan memerintahkan aku menjadi pemberi kabar gembira dan peringatan”.
Dari sini tampak bahwa tujuan dakwah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bukan untuk mencari kekuasaan dan beliau tidak mau menggunakan kekuasaan untuk menegakkan risalah-Nya. seperti yang dilakukan para politikus dan ideologi sekuler, yang memanfaatkan kekuasaan untuk memaksakan kehendak dan ideologinya kepada orang lain.
Jika cara seperti ini dibenarkan dan dianggap sebagai “kebijaksanaan” yang syar’i, niscaya tidak ada bedanya dakwah Islam dan penganjur kebaikan karena dakwah Islam berdasarkan kerelaan, seperti firman Allah :
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ ۖ قَد تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ فَمَن يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىٰ لَا انفِصَامَ لَهَا ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Artinya : “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah [2]:256)
sedang penganjur kebatilan berdasarkan kesewenang-wenangan dan penindasan, sebagaimana firman Allah :
إِنَّ فِرْعَوْنَ عَلَا فِي الْأَرْضِ وَجَعَلَ أَهْلَهَا شِيَعًا يَسْتَضْعِفُ طَائِفَةً مِّنْهُمْ يُذَبِّحُ أَبْنَاءَهُمْ وَيَسْتَحْيِي نِسَاءَهُمْ ۚ إِنَّهُ كَانَ مِنَ الْمُفْسِدِينَ
Artinya : “Sesungguhnya Fir’aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir’aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Q.S. Al-Qashas [28]:4).