Kaya Tanpa Riba

I. Pengertian Rizki

Rizki adalah segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia seperti harta, pangkat, ilmu, kesehatan, akhlak, istri yang shalihah, suami yang shalih, anak yang berbakti dan sebagainya. Di sini hanya disinggung rizki yang berupa harta.

II. Dari Mana Datangnya Rizki

فَتَقَبَّلَهَا رَبُّهَا بِقَبُوْلٍ حَسَنٍ وَأَنْبَتَهَا نَبَاتًا حَسَنًا وَكَفَّلَهَا زَكَرِيَّا ۖ كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيْهَا زَكَرِيَّا الْمِحْرَابَ وَجَدَ عِنْدَهَا رِزْقًا ۖ قَالَ يَا مَرْيَمُ أَنَّىٰ لَكِ هَٰذَا ۖ قَالَتْ هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ ۖ إِنَّ اللَّهَ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ (ال عمران [٣]: ٣٧)

“Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakariya pemeliharanya. Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakariya berkata: “Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?” Maryam menjawab: “Makanan itu dari sisi Allah”. Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.” (Q.S. Ali Imran [3]: 37)

III. Rizki Tidak Akan Habis Sampai Hari Kiamat

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا ۚ كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِيْنٍ (هود [١١]: ٦)

“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).” (Q.S. Hud [11]: 6)

IV. Cara Mendatangkan Rizki

Rizki datang kepada seseorang dikarenakan 2 sebab:

  • Sebab yang tampak seperti bekerja sebagai pedagang, karyawan, pengusaha, dan sebagainya.
  • Sebab yang tidak tampak dengan melakukan hal-hal sebagai berikut:
  1. Amal Shalih

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ (النحل [١٦]: ٩٧)

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (Q.S. An-Nahl [16]: 97)

  1. Bertaqwa Kepada Allah

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا. وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ (الطلاق [٦٥]: ٢-٣)

“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (Q.S. Ath-Thalaq [65]: 2-3)

  1. Tawakkal kepada Allah

وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ ۚ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا (الطلاق [٦٥]: ٣)

“Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (Q.S. Ath-Thalaq [65]: 3)

  1. Memperbanyak Istighfar

فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوْا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا. يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا. وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِيْنَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا (نوح [٧١]: ١٠-١٢)

“Maka aku katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, -sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun-, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (Q.S. Nuh [71]: 10-12)

Sabda Rasulullah ; “Barangsiapa memperbanyak istighfar maka Allah akan memberikan kelapangan dari segala kegundahan, jalan keluar dari segala kesempitan dan memberikan rizki dari arah yang tidak disangka-sangka.” (H.R. Abu Dawud)

  1. Berdoa

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُوْنِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ إِنَّ الَّذِيْنَ يَسْتَكْبِرُوْنَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُوْنَ جَهَنَّمَ دَاخِرِيْنَ (غافر [٤٠]: ٦٠)

Dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina”. (Q.S. Ghafir [40]: 60)

Sabda Rasulullah , “Sesungguhnya Allah Maha Pemalu lagi Maha Mulia. Dia malu terhadap hamba-Nya, jika hamba-Nya menengadahkan tangan kepada-Nya, lalu kedua tangan tersebut kembali dalam keadaan kosong.” (H.R. Abu Dawud)

V. Penyebab Terpeliharanya dan Bertambahnya Rizki

  1. Dzikir Kepada Allah

وَلَوْلَا إِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَاءَ اللَّهُ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ ۚ إِنْ تَرَنِ أَنَا أَقَلَّ مِنْكَ مَالًا وَوَلَدًا (الكهف [١٨]: ٣٩)

“Dan mengapa kamu tidak mengatakan waktu kamu memasuki kebunmu “maasyaallaah, laa quwwata illaa billaah (sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah). Sekiranya kamu anggap aku lebih sedikit darimu dalam hal harta dan keturunan,” (Q.S. Al-Kahfi [18]: 39)

  1. Infak di Jalan Allah

مَثَلُ الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيْلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ ۗ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ (البقرة [٢]: ٢٦١)

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 261)

مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيْرَةً ۚ وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ (البقرة [٢]: ٢٤٥)

“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 245)

  1. Zakat dan Shadaqah

وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُوْ عِنْدَ اللَّهِ ۖ وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيْدُوْنَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُوْنَ (الروم [٣٠]: ٣٩)

“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).” (Q.S. Ar-Rum [30]: 39)

قُلْ إِنَّ رَبِّي يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَيَقْدِرُ لَهُ ۚ وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ ۖ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِيْنَ (سبا [٣٤]: ٣٩)

“Katakanlah: “Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan bagi (siapa yang dikehendaki-Nya)”. Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dialah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.” (Q.S. Saba’ [34]: 39)

Hadis Qudsi, “Hai anak Adam berinfaqlah maka Aku pasti berinfaq kepadamu.” (H.R. Muslim)

  1. Mengerjakan Kebaikan

مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ خَيْرٌ مِنْهَا ۖ وَمَنْ جَاءَ بِالسَّيِّئَةِ فَلَا يُجْزَى الَّذِيْنَ عَمِلُوْا السَّيِّئَاتِ إِلَّا مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ (القصص [٢٨]: ٨٤)

“Barangsiapa yang datang dengan (membawa) kebaikan, maka baginya (pahala) yang lebih baik daripada kebaikannya itu; dan barangsiapa yang datang dengan (membawa) kejahatan, maka tidaklah diberi pembalasan kepada orang-orang yang telah mengerjakan kejahatan itu, melainkan (seimbang) dengan apa yang dahulu mereka kerjakan.” (Q.S. Al-Qashash [28]: 84)

لِيَجْزِيَ الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَعَمِلُوْا الصَّالِحَاتِ أُولَٰئِكَ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيْمٌ (سبا [٣٤]: ٤)

“Supaya Allah memberi balasan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh. Mereka itu adalah orang-orang yang baginya ampunan dan rezeki yang mulia.” (Q.S. Saba’ [34]: 4)

ذَٰلِكَ الَّذِي يُبَشِّرُ اللَّهُ عِبَادَهُ الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَعَمِلُوْا الصَّالِحَاتِ ۗ قُلْ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِلَّا الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبَىٰ ۗ وَمَنْ يَقْتَرِفْ حَسَنَةً نَزِدْ لَهُ فِيْهَا حُسْنًا ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُوْرٌ شَكُوْرٌ. (الشورى [٤٢]: ٢٣)

“Itulah (karunia) yang (dengan itu) Allah menggembirakan hamba-hamba-Nya yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh. Katakanlah: “Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upahpun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan”. Dan siapa yang mengerjakan kebaikan akan Kami tambahkan baginya kebaikan pada kebaikannya itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.” (Q.S. Asy-Syuraa [42]: 23)

Sabda Rasulullah , “Sesungguhnya Allah tidak akan menganiaya orang beriman yang melakukan kebaikan dengan memberinya rizki di dunia dan dibalas di akhirat.” (H.R. Muslim)

  1. Shilaturrahim

Sabda Rasulullah , “Barangsiapa senang diluaskan rizkinya dan dipanjangkan umurnya maka hendaklah ia menyambung tali persaudaraan.” (H.R. Muslim)

  1. Berjihad dengan Harta dan Jiwa

لَا يَسْتَوِي الْقَاعِدُوْنَ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ غَيْرُ أُولِي الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُوْنَ فِي سَبِيْلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ ۚ فَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِيْنَ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ عَلَى الْقَاعِدِيْنَ دَرَجَةً ۚ وَكُلًّا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَىٰ ۚ وَفَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِيْنَ عَلَى الْقَاعِدِيْنَ أَجْرًا عَظِيْمًا. دَرَجَاتٍ مِنْهُ وَمَغْفِرَةً وَرَحْمَةً ۚ وَكَانَ اللَّهُ غَفُوْرًا رَحِيْمًا (النساء [٤]: ٩٥-٩٦)

“Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai ‘uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar, (yaitu) beberapa derajat dari pada-Nya, ampunan serta rahmat. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. An-Nisa [4]: 95-96)

  1. Melaksanakan Haji dan Umrah

Sabda Rasulullah , “Ikutilah antara haji dengan melaksanakan umrah. Karena keduanya melenyapkan kefakiran dan dosa-dosa sebagaimana alat pandai besi melenyapkan kerak yang ada pada besi, emas, dan perak.” (H.R. Ahmad)

  1. Bekerja Secara Halal

Sabda Rasulullah , “Sesungguhnya di antara kalian tidak akan meninggal sampai disempurnakan rizkinya. Maka janganlah ia merasa lambat datang rizkinya. Bertaqwalah kepada Allah, perbaikilah dalam mencari rizki, ambillah yang halal dan tinggalkan yang haram.” (H.R. Ibnu Hibban)

Bekerja secara halal adalah dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

  1. Ikhlas
  2. Amanat (dapat dipercaya)
  3. Tekun
  4. Memperhatikan hak pekerja melalui :
  • Memberi kemudahan dalam ibadah
  • Memberikan hak yang sesuai/pantas
  1. Jujur
  2. Mudah dalam menjual dan membeli
  3. Menjauhi perkara yang haram

 

  1. Berpagi-pagi dalam Bekerja

Rasulullah  bersabda, “Ya Allah berkatilah ummatku yang berpagi-pagi.” (H.R. Abu Dawud)

Dalam hadis yang lain beliau bersabda, “Berpagi-pagilah dalam mencari rizki. Sesungguhnya berpagi-pagi itu adalah berkah dan kejayaan.” (H.R. Thabrani)

  1. Tidak Lalai dalam Beribadah

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِذَا نُوْدِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوْا الْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ. (الجمعة [٦٢]: ٩)

“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Q.S. Al-Jumu’ah [62]: 9)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ ۚ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ. (المنافقون [٦٣]: ٩)

“Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” (Q.S. Al-Munafiqun [63]: 9)

  1. Mensyukuri Ni’mat Allah

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ (إبراهيم [١٤]: ٧)

Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. (Q.S. Ibrahim [14]: 7)

إِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنْكُمْ وَلَا يَرْضَىٰ لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ وَإِنْ تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَىٰ ۗ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّكُمْ مَرْجِعُكُمْ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ إِنَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ (الزمر [٣٩]: ٧)

“Jika kamu kafir maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kembalimu lalu Dia memberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui apa yang tersimpan dalam (dada)mu.” (Q.S. Az-Zumar [39]: 7)

إِنَّمَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَوْثَانًا وَتَخْلُقُونَ إِفْكًا إِنَّ الَّذِينَ تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ لَا يَمْلِكُونَ لَكُمْ رِزْقًا فَابْتَغُوا عِنْدَ اللَّهِ الرِّزْقَ وَاعْبُدُوهُ وَاشْكُرُوا لَهُ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ (العنكبوت [٢٩]: ١٧)

“Sesungguhnya apa yang kamu sembah selain Allah itu adalah berhala, dan kamu membuat dusta. Sesungguhnya yang kamu sembah selain Allah itu tidak mampu memberikan rezeki kepadamu; maka mintalah rezeki itu di sisi Allah, dan sembahlah Dia dan bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada-Nya-lah kamu akan dikembalikan.” (Q.S. Al-Ankabut [29]: 17)

  1. Menikah

Allah  berfirman:

وَأَنكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ ۚ إِن يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ (النور [٢٤]: ٣٢)

Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. An-Nur [24]: 32)

Kemudian rejeki akan semakin bertambah di saat memiliki keturunan, sebagaimana janji Allah ,

وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُم مِّنْ إِمْلَاقٍ ۖ نَّحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ ۖ (الأنعام [٦]: ١٥١)

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka,” (Q.S. Al-An’am [6]: 151)

VI. Penyebab Kerugian dan Berkurangnya Rizki

  1. Berbuat Jahat

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ وَمَنْ أَسَاءَ فَعَلَيْهَا وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيدِ (فصلت [٤١]: ٤٦)

“Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hamba-Nya.” (Q.S. Fushilat [41]: 46)

وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ. (الزلزلة [٩٩]: ٨)

“Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (Q.S. Al-Zalzalah [99]: 8)

  1. Makan Harta Manusia dengan Tidak Benar

وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ. (البقرة [٢]: ١٨٨)

“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 188)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ (النساء [٤]: ٢٩)

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.” (Q.S. An-Nisa [4]: 29)

  1. Riba (Bunga)

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَىٰ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ (البقرة [٢]: ٢٧٥-٢٧٦)

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguh-nya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 275-276)

وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُوْ عِنْدَ اللَّهِ  وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيْدُوْنَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُوْنَ (الروم [٣٠]: ٣٩)

“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).”  (Q.S. Ar-Rum [30]: 39)

  1. Riya’ (Pamer)

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لَا تُبْطِلُوْا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَىٰ كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا لَا يَقْدِرُوْنَ عَلَىٰ شَيْءٍ مِمَّا كَسَبُوْا وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِيْنَ (البقرة [٢]: ٢٦٤)

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 264)

وَالَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ أَمْوَالَهُمْ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُوْنَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَمَنْ يَكُنِ الشَّيْطَانُ لَهُ قَرِيْنًا فَسَاءَ قَرِيْنًا (النساء [٤]: ٣٨)

“Dan (juga) orang-orang yang menafkahkan harta-harta mereka karena riya kepada manusia, dan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan kepada hari kemudian. Barangsiapa yang mengambil syaitan itu menjadi temannya, maka syaitan itu adalah teman yang seburuk-buruknya.” (Q.S. An-Nisa [4]: 38)

  1. Merusak Milik Orang Lain

Rasulullah  bersabda, “Barangsiapa mengambil harta manusia (berhutang) dengan maksud membayarnya, maka Allah akan membayarkannya dan barangsiapa mengambil harta manusia dengan maksud merusaknya maka Allah akan merusak (merugikan) orang itu.” (H.R. Bukhari)

  1. Makan Harta Anak Yatim

وَآتُوا الْيَتَامَىٰ أَمْوَالَهُمْ ۖ وَلَا تَتَبَدَّلُوا الْخَبِيثَ بِالطَّيِّبِ ۖ وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَهُمْ إِلَىٰ أَمْوَالِكُمْ ۚ إِنَّهُ كَانَ حُوبًا كَبِيرًا. (النساء [٤]: ٢)

“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar.” (Q.S. An-Nisa [4]: 2)

إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَىٰ ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا (النساء [٤]: ١٠)

“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (Q.S. An-Nisa [4]: 10)

  1. Rakus dan Bakhil

وَلَتَجِدَنَّهُمْ أَحْرَصَ النَّاسِ عَلَىٰ حَيَاةٍ وَمِنَ الَّذِينَ أَشْرَكُوا ۚ يَوَدُّ أَحَدُهُمْ لَوْ يُعَمَّرُ أَلْفَ سَنَةٍ وَمَا هُوَ بِمُزَحْزِحِهِ مِنَ الْعَذَابِ أَنْ يُعَمَّرَ ۗ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِمَا يَعْمَلُونَ. (البقرة [٢]: ٩٦)

“Dan sungguh kamu akan mendapati mereka, manusia yang paling loba kepada kehidupan (di dunia), bahkan (lebih loba lagi) dari orang-orang musyrik. Masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya daripada siksa. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 96)

إِنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ ۚ وَإِنْ تُؤْمِنُوا وَتَتَّقُوا يُؤْتِكُمْ أُجُورَكُمْ وَلَا يَسْأَلْكُمْ أَمْوَالَكُمْ. إِنْ يَسْأَلْكُمُوهَا فَيُحْفِكُمْ تَبْخَلُوا وَيُخْرِجْ أَضْغَانَكُمْ. (محمد [٤٧]: ٣٦-٣٧)

“Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau. Dan jika kamu beriman dan bertakwa, Allah akan memberikan pahala kepadamu dan Dia tidak akan meminta harta-hartamu. Jika Dia meminta harta kepadamu lalu mendesak kamu (supaya memberikan semuanya) niscaya kamu akan kikir dan Dia akan menampakkan kedengkianmu.” (Q.S. Muhammad [47]: 36-37)

Sabda Rasulullah , “Tidak satu haripun di mana pada pagi harnya seorang hamba ada padanya melainkan dua malaikat turun kepadanya, salah satu di antara keduanya berdo’a, “Ya Allah berikanlah ganti bagi orang yang infaq.” Dan yang lainnya berdoa, “Ya Allah hancurkanlah (harta) orang yang kikir.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

  1. Mengungkit-ungkit Pemberian dan Menyakiti Perasaan

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَىٰ كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا ۖ لَا يَقْدِرُونَ عَلَىٰ شَيْءٍ مِمَّا كَسَبُوا ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ. (البقرة [٢]: ٢٦٤)

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 264)

Rasulullah  bersabda, “Tiga orang yang Allah tidak akan mengajak mereka berbicara, tidak akan memandang mereka dan mebersihkan meeka pada hari Kiamat dan bagi mereka adzab yang pedih,” Beliau mengulang sabdanya tiga kali. Abu Dzar berkata, “Mereka celaka dan rugi.” Siapakah mereka, wahai Rasulullah? Beliau menjawab, “Orang yang menjulurkan pakaiannya dan orang yang mengungkit-ungkit pemberian dan orang menjual dagangan dengan sumpah palsu.” (H.R. Muslim)

  1. Mengadu Kepada Manusia

قَالَ إِنَّمَا أَشْكُوْ بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللَّهِ وَأَعْلَمُ مِنَ اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ (يوسف [١٢]: ٨٦)

Ya’qub menjawab: “Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tiada mengetahuinya”. (Q.S. Yusuf [12]: 86)

Sabda Rasulullah , “Hendaknya setiap orang dari kalian memintakan hajatnya kepada Allah hingga garam sekalipun dan jepit sendalnya terputus.” (H.R. Tirmidzi)

Sabda Rasulullah , “Barangsiapa ditimpa kesusahan lalu ia mengadukan kepada manusia maka dia tidak ditutupi kesusahannya. Dan barangsiapa mengadukan kepada Allah maka pasti Allah akan memberinya rizki cepat atau lambat.” (H.R. Abu Dawud dan Tirmidzi)

  1. Menyerahkan Harta Kepada Orang Bodoh

وَلَا تُؤْتُوْا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوْهُمْ فِيْهَا وَاكْسُوْهُمْ وَقُوْلُوْا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوْفًا. (النساء [٤]: ٥)

“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.” (Q.S. An-Nisa [4]: 5)

Sabda Rasulullah , “Tiga orang yang doanya tidak akan dikabulkan oleh Allah Seorang yang mempunyai seorang istri yang akhlaknya buruk tetapi tidak menceraikan dan orang yang mempunyai harta di tangan orang lain tetapi tidak mengurusinya dan orang yang menyerahkan hartanya kepada orang bodoh (belum sempurna akalnya) sedangkan Allah berfirman –yang artinya– “Dan janganlah kalian serahkan kepada orang yang belum sempurna akalnya harta (mereka yang ada dalam kekuasaan) kam.” (H.R. Al-Hakim)

  1. Boros

وَآتِ ذَا الْقُرْبَىٰ حَقَّهُ وَالْمِسْكِيْنَ وَابْنَ السَّبِيْلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيْرًا. إِنَّ الْمُبَذِّرِيْنَ كَانُوْا إِخْوَانَ الشَّيَاطِيْنِ ۖ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُوْرًا (الإسراء [١٧]: ٢٦-٢٧)

“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (Q.S. Al-Isra [17]: 26-27)

Rasulullah  bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan kalian durhaka kepada ibu, menguburkan hidup-hidup bayi perempuan, menahan dan menuntut. Dan dia membenci kalian banyak bicara, banyak bertanya dan menghambur-hamburkan harta.” (Muttafaq Alaih)

  1. Bekerja Secara Haram

Sabda Rasulullah , “Akan datang kepada manusia zaman di mana mereka tidak peduli apakah harta yang diambil itu halal atau haram.” (H.R. Bukhari)

Bekerja secara haram antara lain dengan melakukan:

  1. Sumpah Palsu
  2. Mengurangi Timbangan/Takaran
  3. Menipu
  4. Korupsi
  5. Menyuap dan Menerima Suap
  1. Lalai dari Ibadah

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ ۚ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُوْنَ. (المنافقون [٦٣]: ٩)

“Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” (Q.S. Al-Munafiqun [63]: 9)

Rasulullah  bersabda, “Allah  berfirman: Hai Anak Adam sibuklah dengan ibadah kepadaKu maka akan Aku penuhi dadamu dengan rasa cukup dan Aku penuhi keperluanmu. Jika tidak engkau lakukan maka Aku penuhi dadamu dengan rasa kurang terus menerus dan tidak Aku penuhi keperluanmu.” (H.R. Ibnu Majah)

  1. Kufur (Mengingkari) Ni’mat

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيْدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ (إبراهيم [١٤]: ٧)

Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. (Q.S. Ibrahim [14]: 7)

وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا قَرْيَةً كَانَتْ آمِنَةً مُطْمَئِنَّةً يَأْتِيْهَا رِزْقُهَا رَغَدًا مِنْ كُلِّ مَكَانٍ فَكَفَرَتْ بِأَنْعُمِ اللَّهِ فَأَذَاقَهَا اللَّهُ لِبَاسَ الْجُوْعِ وَالْخَوْفِ بِمَا كَانُوْا يَصْنَعُوْنَ (النحل [١٦]: ١١٢)

“Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat.” (Q.S. An-Nahl [16]: 112)

Rasulullah  bersabda, “Orang makan yang bersyukur kedudukannya sama dengan orang puasa yang sabar.”  (H.R. Bukhari)

VII. Kekayaan Rasulullah

Tidak ada catatan lengkap yang menggambarkan kekayaan Rasulullah , baik sebelum menjadi utusan Allah  maupun sesudah menjadi utusan Allah . Meskipun begitu para ahli tarikh menyebutkan bahwa beliau memberikan mas kawin (mahar) kepada Khadijah  sebanyak 20 ekor unta dan 12 ons emas. 20 ekor unta = Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), 12 ons emas = Rp193.360.000,00 (seratus sembilan puluh tiga juta tiga ratus enam puluh ribu rupiah).

Setelah beliau menjadi rasul, para ahli tarikh menceritakan bahwa:

  1. Rasulullah pernah membagikan lebih dari 1500 ekor unta kepada beberapa orang Quraisy.
  2. Syu’aibi mencatat, beliau membagikan kutaibah (santunan rutin) kepada kerabat dari isteri-isteri beliau:
  • Fatimah , 200 wasaq
  • Ali bin Abi Thalib ,100 wasaq
  • Usamah bin Zaid , 250 wasaq
  • Aisyah , 200 wasaq
  • Rabi’ah bin Harits bin Abdul Muthalib , 100 wasaq
  • Abu Bakar Ash-Shiddiq , 100 wasaq
  • Aqil bin Abi Thalib , 140 wasaq
  • Anak-anak Ja’far Ath-Thayyar , 140 wasaq
  • Isteri-isterinya , 700 wasaq

(1 wasaq = 60 sha’, sedang 1 sha’ = 2,176 kg)

  1. Dikabarkan bahwa beliau pernah menerima hadiah 90.000 dirham. (1 dirham ± Rp40.000,00)
  2. Seusai perang Khaibar, beliau memperoleh 100 perisai, 400 pedang, 1000 busur dan 500 tombak.
  3. Ketika kembali dari perang Hunain, beliau disodori uang hasil rampasan perang. Beliau berkata, “Letakkanlah uang itu di masjid.” Kemudian beliau menuju tempat shalat di masjid tanpa menoleh kepada uang itu dan memberikannya kepada setiap orang yang meminta. Beliau berdiri setelah uang itu habis.

Jika kekayaan Rasulullah  di atas dihitung, jelas bahwa beliau seorang miliarder, namun hidup beliau sangat sederhana.

Aisyah  pernah mendengar Rasulullah  berdoa, “Ya Allah, jadikan hidupku sebagai orang miskin, matikanlah aku dalam keadaan miskin dan kumpulkanlah aku pada Hari Kiamat bersama-sama orang miskin.” Mendengar doa ini Aisyah  berkata, “Mengapa engkau berdoa seperti itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang-orang miskin akan masuk surga 40 tahun lebih awal dari pada orang kaya. Wahai Aisyah, jangan pernah menolak orang miskin meski hanya bisa memberi separuh biji kurma. Cintailah orang miskin dan dekatkanlah mereka denganmu agar Allah juga mendekatkanmu dengan-Nya pada hari Kiamat nanti.” (H.R. Tirmidzi, Baihaqi, dan Al-Munziri)

Rasulullah  bukan orang miskin, beliau sangat kaya tetapi gaya hidup beliau adalah gaya hidup orang paling miskin. Pernah selama 40 malam rumah beliau tidak ada api menyala artinya tidak ada makanan yang bisa dimasak.

VIII. Kekayaan Para Sahabat

Dalam mencari rizki para sahabat selalu berpegang kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah sehingga kekayaan mereka berlimpah ruah.

Di bawah ini disebutkan kekayaan dan kehidupan ekonomi sebagian sahabat:

  1. Abu Bakar Ash-Shiddiq

Beliau membebaskan Bilal bin Rabah  yang ditawarkan oleh majikannya, Umaiyah bin Khalaf dengan harga yang sangat tinggi yaitu 9 uqiah (ons) emas setara dengan Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah). Suatu harga yang fantastik dan Abu Bakar  menyanggupinya tanpa menawar.

Di awal keislaman dikisahkan, Abu Bakar  pernah menghabiskan 40.000 dirham atau sekitar 2,8 miliar rupiah untuk membebaskan para budak.

Pada waktu Perang Tabuk (9 H) Abu Bakar  mensedekahkan seluruh hartanya, sampai-sampai Rasulullah  menegurnya, “Apa yang kau gunakan membiayai hidupmu dan keluargamu sesudah seluruh hartamu engkau sedekahkan.” Ia menjawab, “Aku masih memiliki Allah dan Rasul-Nya.”

  1. Umar bin Khattab

Semenjak menjadi khalifah beliau hidup sangat sederhana meskipun kaya raya. Hartanya sebagian besar dipergunakan untuk kemajuan kaum muslimin, bahkan sejak sebelum menjadi khalifah. Dalam perang Tabuk beliau menyerahkan setengah dari seluruh kekayaannya.

Kekayaan beliau tergambar dari catatan ahli tarikh sebagai berikut:

  • Mewariskan 70.000 properti (ladang pertanian) seharga @160 juta (total Rp11,2 triliun)
  • Cash Flow perbulan dari properti = 70.000 x 40 juta = 28 Triliun pertahun atau 233 Miliar perbulan.
  1. Utsman bin Affan

Menurut catatan Ibnu Katsir disebutkan kekayaan beliau:

  1. Tarikah 1 (tunai) : 30.000.000 dirham
  2. Tarikah 2 (tunai) : 150.000 dinar
  3. Sedekah : 200.000 dinar
  4. Unta : 1000 ekor

Jika dirupiahkan:

  1. Tarikah 1 (tunai) : Rp1.845.690.000.000,00
  2. Tarikah 2 (tunai) : Rp291.219.000.000,00
  3. Sedekah : Rp388.293.000.000,00
  4. Unta : Rp7.740.000.000,00

Jumlah: Rp2.532.942.750.000,00 (dua triliun, lima ratus tiga puluh dua miliar, sembilan ratus empat puluh dua juta, tujuh ratus lima puluh ribu rupiah)

Perhitungan di atas bisa jadi lebih kecil dari realitanya karena beberapa aset dan sedekah beliau tidak dimasukkan seperti:

  1. Pembelian sumur “Raumah” senilai 20.000 dirham
  2. Hibah 950 unta untuk perang Tabuk
  3. Asset tanah yang jumlahnya sangat banyak

Khusus sumur “Raumah” yang beliau beli dari orang Yahudi kemudian beliau wakafkan. Setelah sumur itu diwakafkan untuk kaum muslimin beberapa waktu kemudian tumbuh pohon kurma yang jumlahnya terus bertambah. Lalu Daulah Utsmaniyah memeliharanya hingga semakin berkembang. Lalu dipelihara juga oleh pemerintah Kerajaan Arab Saudi hingga berjumlah 1550 pohon. Selanjutnya oleh pemerintah, dalam hal ini Departemen Pertanian Arab Saudi hasil kebun kurma ini dijual ke pasar-pasar, setengah dari keuntungannya disalurkan untuk anak yatim dan fakir miskin, sedang setengahnya ditabung dan disimpan dalam bentuk rekening khusus milik beliau di salah satu bank atas nama Usman bin Affan  di bawah pengawasan Departemen Pertanian.

Selanjutnya setelah uang yang ada di Bank itu cukup untuk membeli sebidang tanah, maka dibelikan sebidang tanah yang cukup strategis dekat Masjid Nabawi dan di atasnya dibangun sebuah hotel.

Gambar Kebun dan Wakaf Utsman bin Affan

Walaupun Utsman bin Affan  sangat kaya namun di akhir masa kekhilafahan dan hidupnya, harta yang beliau miliki hanya dua ekor unta. Semua hartanya beliau infakkan untuk kesejahteraan umat bahkan beliau tidak mau menerima gaji dari Baitul Maal.

  1. Zubair bin Awwam

Konon satu-satunya orang yang dapat menandingi Zubair bin Awwam  dalam kemahiran bertempur sambil berkuda adalah Khalid bin Walid . Kedua sahabat ini mampu berkuda sambil kedua tangannya menggenggam pedang, sedangkan pengendalian kuda dilakukan dengan kakinya.

Saat meninggal dunia beliau meninggalkan kekayaan berupa asset tidak bergerak (tanah), termasuk di antaranya adalah sebuah rimba belantara, 11 (sebelas) rumah besar (daar) di Madinah, 2 (dua) rumah di Bashra dan 1 (satu) rumah masing-masing di Kuffah dan Mesir.

Beliau mewasiatkan ⅓ dari total tarikah (peninggalannya) untuk para cucunya dan ⅔ dibagi-bagikan kepada ahli warisnya.

Beliau memiliki empat orang isteri di mana setiap istri mendapatkan warisan sebanyak 1.200.000 dirham dari ⅔ total peninggalan. Berdasarkan hal ini, kekayaan yang ditinggalkan oleh beliau termasuk yang diwasiatkan kepada para cucunya berjumlah 57.600.000 dirham atau kalau dirupiahkan senilai Rp3.543.724.800.000,00 (tiga triliun, lima ratus empat puluh tiga miliar, tujuh ratus dua puluh empat juta, delapan ratus ribu rupiah)

  1. Thalhah bin Ubaidillah

Ketika meninggal dunia beliau meninggalkan warisan:

  1. Tarikah 1 (tunai) : 2.200.000 dirham
  2. Tarikah 2 (tunai) : 200.000 dinar
  3. Sedekah 1 (tanah) : 300.000 dirham (belum dapat verifikasinya)

Jika dirupiahkan:

  1. Tarikah 1 (tunai) : Rp135.350.600.000,00
  2. Tarikah 2 (tunai) : Rp388.293.000.000,00
  3. Sedekah 1 (tanah) : Rp18.456.900.000,00

Jumlah: Rp542.100.500.000,00 (lima ratus empat puluh dua miliar, seratus juta, lima ratus ribu rupiah)

Sementara menurut sumber lain, saat Thalhah  meninggal dunia total kekayaannya adalah 30.000.000 dirham atau setara Rp1.845.690.000.000,00 (satu triliun, delapan ratus empat puluh lima miliar, enam ratus sembilan puluh juta rupiah)

  1. Sa’ad bin Abi Waqqash

Sebagian ahli tarikh menyebutnya sebagai orang keempat yang masuk Islam setelah Abu Bakar Ash-Shiddiq, Ali bin Abi Thalib dan Zaid bin Haritsah .

Beliau adalah orang yang pertama kali melesatkan anak panah dalam sejarah peperangan Islam dan yang pertama kali terkena tusukan anak panah. Beliau adalah pemimpin dakwah Islam ke Cina pada masa Khalifah Usman bin Affan .

Pada waktu meninggal dunia nilai warisannya sebesar 250.000 dirham setara dengan Rp15.880.750.000,00 (lima belas miliar, tiga ratus delapan puluh juta, tujuh ratus lima puluh ribu rupiah)

  1. Abdurrahman bin Auf

Beliau seorang miliarder yang sangat ulung dalam berbisnis dan seorang sahabat yang dijamin masuk surga oleh Rasulullah  sendiri. Beliau termasuk Assabiqun Al-Awwalun serta pahlawan Perang Badar dan Uhud .

Ratusan miliar hartanya, bahkan mungkin menyentuh triliun seluruhnya ditinggalkan di Makkah ketika diperintahkan oleh Rasulullah  untuk hijrah ke Madinah.

Sesampai di Madinah beliau kembali membangun bisnisnya dan dalam waktu singkat menjadi seorang yang kaya raya. Beliau pernah menginfaqkan separuh hartanya (kurang lebih 2,4 miliar rupiah) untuk keperluan dakwah pada awal perkembangan Islam. Saat itu total asset kekayaannya “baru” sekitar Rp4,8 miliar. Rasulullah  kemudian mendoakannya, “Semoga Allah melimpahkan berkah-Nya kepadamu terhadap harta yang engkau berikan. Dan semoga Allah juga memberkati harta yang engkau tinggalkan untuk keluargamu.” Dan terbukti semenjak itu Abdurrahman bin Auf  semakin kaya dan dengan kekayaan itu beliau bertambah dermawan. Pernah dalam sekali duduk beliau berinfaq sebesar 40 ribu dinar, senilai Rp 64 miliar.

Ketika Rasulullah  memerlukan dana untuk membiayai perang Tabuk beliau mempeloporinya dengan menyumbang dua ratus uqiyah emas (1 uqiyah = 50 dinar), sampai Umar bin Khattab  berbisik kepada Rasulullah , “Sepertinya Abdurrahman berdosa terhadap keluarganya karena tidak meninggali uang sedikitpun untuk keluarganya.” Mendengar ini Rasulullah  bertanya kepada Abdurrahman bin Auf , “Apakah kamu meninggalkan uang belanja untuk istrimu?” “Ya,” jawab Abdurrahman , “Mereka saya tinggali lebih banyak dan lebih baik dari yang saya sumbangkan.” “Berapa?”, tanya Rasulullah . “Sebanyak rizki, kebaikan dan pahala yang dijanjikan Allah,” jawab Abdurrahman .

Setelah Rasulullah  wafat, Abdurrahman bin Auf  menjaga kesejahteraan Ummuhatul Mukminin (istri-istri Rasulullah ) dan saat hendak wafat beliau berwasiat untuk menyantuni veteran perang Badar yang masih hidup sebesar 400 dinar /orang, yang saat itu jumlahnya tidak kurang dari 100 orang. Total nilai wasiat itu apabila dirupiahkan setara Rp77.658.600.000,00 (tujuh puluh tujuh miliar, enam ratus lima puluh delapan juta, enam ratus ribu rupiah). Sahabat Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib  termasuk di antara yang menerimanya.

Ketika wafat dalam usia 72 tahun, ia mewariskan kepada empat istri dan anak-anaknya harta sebesar Rp6.212.688.000.000,00 (enam triliun, dua ratus dua belas miliar, enam ratus delapan puluh delapan juta rupiah). Ali bin Abi Thalib  berkata kepada jenazah Abdurrahman bin Auf , “Anda telah mendapatkan kasih sayang Allah dan anda telah berhasil menundukkan kepalsuan dunia.”

Dari paparan di atas membuktikan bahwa sedekah sama sekali tidak mengurangi rizki bahkan terus menambahnya. Sedekah-sedekah Abdurrahman bin Auf  yang disebutkan hanya sebagian saja. Masih banyak sedekah beliau yang tidak disebutkan, baik yang diberikan secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan.

Bagaimana Abdurrahman bin Auf  bisa sangat sukses berbisnis dan juga dijamin masuk surga? Berikut adalah yang bisa kita tiru dari beliau:

  1. Seluruh usahanya hanya ditujukan untuk mencari ridha Allah .
  2. Bermodal dan berniaga yang halal dan menjauhkan diri dari barang yang haram bahkan yang syubhat.
  3. Keuntungan hasil usaha bukan untuk dinikmati sendiri melainkan ditunaikan hak Allah , keluarga dan untuk berjuang di jalan Allah .
  4. Beliau orang yang mengendalikan hartanya, bukan harta yang mengendalikannya.
  5. Sedekah telah menyuburkan hartanya, sampai-sampai ada penduduk Madinah yang berkata, “Seluruh penduduk Madinah ikut merasakan harta Abdurrahman bin Auf . Sepertiganya dipinjamkan kepada mereka, sepertiganya untuk membayar hutang-hutang mereka dan sepertiga sisanya dibagi-bagikan kepada mereka.”
  6. Keseluruhan harta Abdurrahman bin Auf adalah harta yang halal sehingga Utsman bin Affan  yang termasuk kaya pun bersedia menerima wasiat beliau ketika beliau membagi-bagikan santunan kepada veteran perang Badar. Atas pembagian ini, Usman bin Affan  berkata, “Harta Abdurrahman bin Auf halal dan bersih, dan memakan harta itu membawa rahmat dan berkah.”

 

IX. Kekayaan Umat di Masa Khilafah

a. Pada Masa Umar bin Khaththab

  • Muadz bin Jabal menuturkan di Yaman kesulitan menemukan orang miskin yang layak diberi zakat.
  • Para guru di Madinah mendapat gaji 15 dinar atau senilai kurang lebih 18 juta/bulan.

b. Pada Masa Umar bin Abdul Aziz

  • Yahya bin Saad berkata, “Ketika hendak membagikan zakat saya tidak menjumpai seorang miskin pun.”
  • Surat Waliyul Imaam Bashrah, “Semua rakyat sejahtera sampai saya khawatir mereka akan menjadi sombong.”

X. 7 Miliarder yang Memilih Hidup Sederhana

Menurut REPUBLIKA.CO.ID, menjadi pengusaha miliarder tentu memiliki pilihan untuk hidup berfoya-foya dan membelanjakan hartanya. Namun, hal itu tidak dilakukan oleh tujuh miliarder ini.

Dilansir dari Businessinsider, Ahad (7/2), tujuh miliarder ini memilih hidup jauh dari kesan bermewah-mewahan dan menghamburkan kekayaan yang ia miliki. Mereka memilih hidup sederhana.

  1. Warren Buffet

Pemilik dan CEO perusahaan multinasional, Berkshire Hathaway ini memiliki kekayaan bersih mencapai 60,7 miliar dolar AS. Buffet menjadi miliarder yang dikenal paling bijaksana dan sederhana.

Menurut biografinya yang ditulis pada 2009, status Buffet sebagai orang terkaya ketiga di dunia ternyata hanya memiliki rumah senilai 31.500 dolar AS yang ia beli pada 1958. Buffet juga dikenal tidak memiliki telepon genggam dan komputer di meja kerjanya.

Pada pertemuan pemegang saham perusahaannya pada 2014 lalu, Buffet menjelaskan kualitas hidupnya tidak dipengaruhi oleh banyaknya jumlah uang yang ia miliki.

“Hidup saya bisa lebih bahagia. Tapi juga bisa lebih buruk. Jadi saya hanya memiliki sesuai apa yang saya butuhkan dan saya tidak perlu apa apa lagi, karena itu juga tidak membuat perbedaan,” ujar pengusaha di bidang asuransi jiwa, ritel dan properti ini.

  1. Charlie Ergen

Pemimpin Dish Network ini memiliki kekayaan bersih mencapai 14,5 miliar dollar AS. Charlie Ergen menjadi miliarder yang dikenal sangat sederhana. Ergen mengatakan pilihanya untuk hidup tidak bermewah-mewahan karena mengenang masa lalu ibunya yang bertahan dengan banyak tekanan hidup.

Ia dikenal membawa sendiri bungkusan makan siang dan minuman Gatorade sendiri sebelum bekerja setiap hari. Hingga kini pengusaha jaringan televisi kabel terkemuka di AS tersebut, tetap dikenal masih rela berbagi kamar hotel dengan rekan-rekannya selama perjalanan.

  1. Carlos Slim Helú

Pendiri Grupo Carso ini memilih menjadikan kekayaannya untuk mendorong bisnisnya lebih maju daripada hanya menghabiskan kekayaan dengan berfoya-foya.

Apa yang harus anda lakukan adalah membuatnya tumbuh, menginvestasikan kembali untuk membuatnya lebih besar atau mendiversifikasikan bisnis ke daerah lain, ujar miliarder asal Meksiko yang juga raja telekomunikasi di kawasan latin Amerika ini.

Pria berusia 75 tahun ini merupakan orang terkaya di Meksiko, tapi dia tidak lantas hidup mewah dengan jet pribadi dan kapal pesiar. Slim dikabarkan masih setia dengan kendaraan Mercedes Benz tuanya. Ia juga menekankan kepada karyawannya untuk tetap menjaga penghematan dalam setiap kinerjanya.

  1. Ingvar Kamprad

Pendiri IKEA ini memiliki kekayaan bersih mencapai 39,3 miliar dolar AS. Kamprad merupakan orang terkaya ke dua di Eropa. Namun anda tentu akan heran, bila Kampard masih rela menggunakan kelas ekonomi saat terbang di pesawat dan ikut makan siang bersama karyawannya di kantin IKEA.

Kampard sempat pindah rumah ke Swedia pada 2013 lalu setelah menghabiskan 40 tahunnya di Swiss. Kini pemilik perusahaan multinasional di bidang retail, desain dan perangkat furniture rumah ini hidup di sebuah rumah yang satu lantai rumahnya digunakan untuk peternakan.

  1. Amancio Ortega

Pendiri Inditex ini baru saja dinobatkan sebagai orang terkaya ke dua di dunia. Dengan kekayaan mencapai 66,8 miliar dolar, Ortega ternyata tidak lantas mengubah kebiasaannya dalam belanja kehidupan sehari-hari. Pemilik perusahaan multi biliuner Spanyol di bidang tekstil dan produksi pakaian bermerek Zara ini, sering mengunjungi kedai kopi biasa.

Ortega juga tidak sungkan makan dengan karyawan Zaranya di kantin kantornya. Seperti rekan miliardernya Mark Zuckerberg, Ortega tetap mempertahankan gaya berpakaian biasanya, kemeja putih blazer biru dan celana abu-abu yang ia pakai setiap hari.

  1. Azim Premji

Pendiri Wipro Limited ini memiliki kekayaan bersih mencapai 16,5 miliar dolar AS. Taipan perusahaan multinasional di bidang strategi digital ini tidak membuat dirinya ragu berkendara dengan angkutan umum di India. Premji menggunakan Bajaj di India untuk pulang dari bandara atau menjaga penggunaan berlebihan pada kertas toilet.

Premji juga tidak canggung menggunakan penerbangan pesawat kelas ekonomi, mengendarai mobil bekas dan selalu mengingatkan karyawannya untuk berhemat listrik di kantor.

  1. Mark Zuckerberg

Pendiri dan CEO Facebook. Meskipun saat ini statusnya sebagai salah satu raja di aplikasi teknologi media sosial terkaya, Mark Zuckerberg tetap menjaga gaya hidupnya yang sederhana bersama istrinya, Priscilla Chan dan putrinya yang baru lahir. Ia tidak malu menggunakan t-shirt, hoodie dan seragam sederhana lain seperti celana jeansnya.

Aku berusaha untuk memangkas keinginan berlebihan, apa yang harus aku makan atau apa yang harus aku pakai. Karena aku memiliki banyak keputusan yang harus kubuat, kata Zuckerberg.

Jebakan kekayaan tidak akan membutakan pria 31 tahun ini, setelah menikah dengan istrinya Chan pada 2012, Zuckerberg menyumbangkan sebagian besar hartanya untuk amal. Zuckerberg juga membeli mobil biasa, Acura VW Hatchback dengan transmisi manual senilai 30 ribu dolar AS.

Kesederhanaan Zuckerberg ini juga tampak dalam berpakaian. Dia selalu memakai T-shirt berwarna abu-abu. Ketika ditanya tentang hal itu dia menjawab, “Saya benar-benar ingin mempermudah hidup saya dan membuat sedikit keputusan tentang hal itu, kecuali cara terbaik untuk melayani masyarakat.”

XI. Riba Dalam Perspektif Syari’at Islam

A. Definisi Riba

Riba menurut bahasa bermakna ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik, riba juga berarti tumbuh dan membesar. Adapun menurut istilah fiqh, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat korelasi yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam.

Mengenai hal ini, Allah  mengingatkan dalam firman-Nya:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ… (النساء [٤]: ٢٩)

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil.” (Q.S. An-Nisa [4]: 29)

Dalam kaitannya dengan pengertian Al-Bathil dalam ayat tersebut, Ibnu Al- Arabi Al-Maliki dalam kitabnya Ahkam Al-Qur’an menjelaskan:

وَالرِّبَا فِي اللُّغَةِ هُوَ الزِّيَادَةُ، وَالْمُرَادُ بِهِ فِي الْآيَةِ كُلُّ زِيَادَةٍ لَمْ يُقَابِلْهَا عِوَضٌ

“Pengertian riba secara bahasa adalah tambahan, namun yang dimaksud riba dalam ayat Quran ini adalah setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syariah.

Yang dimaksud dengan transaksi pengganti atau penyeimbang yaitu transaksi bisnis atau komersial yang melegitimasi adanya penambahan tersebut secara adil, seperti transaksi jual beli, gadai, sewa, atau bagi hasil proyek. Dalam transaksi sewa, si penyewa membayar upah sewa karena adanya manfaat sewa yang dinikmati, termasuk menurunnya nilai ekonomis suatu barang karena penggunaan si penyewa. Mobil misalnya, sesudah dipakai maka nilai ekonomisnya pasti menurun jika dibandingkan sebelumnya. Dalam hal jual beli, si pembeli membayar harga atas imbalan barang yang diterimanya. Demikian pula dalam proyek bagi hasil, para peserta perkongsian berhak mendapat keuntungan karena di samping menyertakan modal juga turut serta menanggung kemungkinan resiko kerugian yang bisa saja muncul setiap saat.

Dalam transaksi simpan pinjam dana, secara konvensional, si pemberi pinjaman mengambil tambahan dalam bentuk bunga tanpa adanya suatu penyeimbang yang diterima si peminjam kecuali kesempatan dan faktor waktu yang berjalan selama proses peminjaman tersebut. Yang tidak adil di sini adalah si peminjam diwajibkan untuk selalu, tidak boleh tidak, dan harus untung dalam setiap penggunaan kesempatan tersebut.

Demikian pula dana itu tidak akan berkembang dengan sendirinya hanya dengan faktor waktu semata tanpa ada faktor orang yang menjalankan dan mengusahakannya. Bahkan, ketika orang tersebut mengusahakan bisa saja untung dan juga rugi.

Pengertian serupa disampaikan oleh jumhur ulama sepanjang sejarah Islam dari berbagai madzhab fiqh. Di antaranya sebagai berikut:

  1. Badr ad-Din al Ayni, pengarang Umdatul Qari Syarah Shahih al Bukhari

الْأَصْلُ فِيْهِ (الرِّبَا) الزِّيَادَةُ –وَهُوَ فِي الشَّرْعِ الزِّيَادَةُ عَلَى أَصْلِ مَالٍ مِنْ غَيْرِ عَقْدٍ تُبَايَعُ

“Prinsip utama dalam riba adalah penambahan. Menurut syariah, riba berarti penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riil.

  1. Imam Syarkhasi dari Madzhab Hanafi

الرِّبَا هُوَ الْفَضْلُ الْخَالِي عَنِ الْعِوَضِ الْمَشْرُوْطِ فِي الْبَيْعِ

“Riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya ‘iwadh (atau padanan) yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut”.

  1. Raghib Al-Ashfahani

الرِّبَا هُوَ الزِّيَادَةُ عَلَى رَأْسِ الْمَالِ

“Riba adalah penambahan atas harta pokok”

  1. Qatadah

إِنَّ الرِّبَا الْجَاهِلِيَّةَ أَنْ يَبِيْعَ الرَّجُلُ الْبَيْعَ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَإِذَا حَلَّ الْأَجَلُ وَلَمْ يَكُنْ عِنْدَ صَاحِبِهِ قَضَاءٌ زَادَ وَأَخَّرَ عَنْهُ

“Riba Jahiliyah adalah seseorangh yang menjual barangnya secara tempo hingga waktu tertentu. Apabila telah datang saat pembayaran dan si pembeli tidak mampu membayar, ia memberikan bayaran tambahan atas penangguhan.”

  1. Ibnu Qudamah

الرِّبَا هُوَ الزِّيَادَةُ فِي أَشْيَاءٍ مَخْصُوْصَةٍ

“Penambahan pada barang / komoditi tertentu.”

B. Jenis-Jenis Riba

Secara garis besar, riba dikelompokan menjadi dua. Masing-masing adalah riba utang piutang dan riba jual beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyah. Adapun kelompok kedua, riba jual beli, terbagi menjadi riba fadhl dan riba nasi’ah.

  1. Riba Qardh

Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berutang

  1. Riba Jahiliyyah

Utang dibayar lebih dari pokoknya karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.

  1. Riba Fadhl

Pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.

  1. Riba Nasi’ah

Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam Nasiah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dan yang diserahkan kemudian.

Mengenai pembagian dan jenis-jenis riba, berkata Ibnu Hajar Al-Haitsami, “Riba itu terdiri atas tiga jenis: riba fadhl, riba al-yaad, dan riba an-nasi’ah. Al-Mutawally menambahkan jenis keempat, yaitu riba al-qardh. Beliau juga menyatakan bahwa semua jenis ini diharamkan secara ijma berdasarkan nash AlQur’an dan hadits Nabi”.

C. Jenis-Jenis Barang Ribawi

Para ahli fiqih telah membahas masalah riba dan jenis barang ribawi dengan panjang lebar dalam kitab-kitab mereka. Dalam kesempatan ini akan disampaikan kesimpulan umum dari pendapat mereka yang intinya bahwa barang ribawi meliputi:

  1. Emas dan perak, baik itu dalam bentuk uang maupun dalam bentuk lainnya;
  2. Bahan makanan pokok, seperti beras, gandum, dan jagung, serta bahan makanan tambahan, seperti sayur-sayuran dan buah-buahan.

Dalam kaitannya dengan perbankan syariah, implikasi ketentuan tukar-menukar antara barang ribawi dapat diuraikan sebagai berikut:

  1. Jual beli antara barang ribawi sejenis hendaklah dalam jumlah dan kadar yang sama. Barang tersebut harus diserahkan saat transaksi jual beli. Misalnya, rupiah dengan rupiah hendaklah Rp5.000,00 dengan Rp5.000,00 dan diserahkan ketika tukar menukar.
  2. Jual beli antara barang-barang ribawi yang berlainan jenis diperbolehkan dengan jumlah dan kadar yang berbeda dengan syarat barang yang diserahkan pada saat akad jual beli, misalnya Rp5.000,00 dengan 1 dollar Amerika.
  3. Jual beli barang ribawi dengan yang bukan ribawi tidak disyaratkan untuk sama dalam jumlah maupun untuk diserahkan pada saat akad. Misalnya, mata uang (emas, perak, atau kertas) dengan pakaian.
  4. Jual beli antara barang-barang yang bukan ribawi diperbolehkan tanpa persamaan dan diserahkan pada waktu akad, misalnya pakaian dengan barang elektronik.

D. Riba Adalah Haram

Islam memperbolehkan mengembangkan harta dengan jalan berdagang. Allah berfirman:

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِن فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ. وَإِذَا رَأَوْا تِجَارَةً أَوْ لَهْوًا انفَضُّوا إِلَيْهَا وَتَرَكُوكَ قَائِمًا ۚ قُلْ مَا عِندَ اللَّهِ خَيْرٌ مِّنَ اللَّهْوِ وَمِنَ التِّجَارَةِ ۚ وَاللَّهُ خَيْرُ الرَّازِقِينَ (الجمعة [٦٢]: ١٠-١١)

Apabila shalat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi; carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung. Dan apabila mereka melihat perdagangan atau permainan, mereka segera menuju kepadanya dan mereka tinggalkan engkau (Muhammad) sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah, “Apa yang ada di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perdagangan,” dan Allah pemberi rezeki yang terbaik. (Q.S. Al-Jumu’ah [62]: 10-11).

Allah  memuji orang-orang yang melakukan perjalanan di muka bumi untuk berdagang. Firman-Nya:

وَءَاخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ (المزمل [٧٣]: ٢٠)

“Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; (Q.S. Al Muzzammil [73]: 20).

Akan tetapi Islam membendung jalan bagi semua orang untuk mengembangkan hartanya dengan jalan riba. Islam mengharamkan riba yang sedikit dan yang banyak, Islam mencela orang-orang yahudi yang memungut riba padahal mereka dilarang.

Di antara ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan belakangan ialah firman Allah dalam surat Al-Baqarah:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ. فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ (البقرة [٢]: ٢٧٨-٢٧٩)

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan, maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat, maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak dianiaya.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 278-279).

Rasulullah  menyatakan perang kepada riba dan orang-orang yang memungut riba, di samping menjelaskan bahaya riba bagi masyarakat, dalam beberapa sabdanya, antara lain:

دِرْهَمُ رِبًا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةِ وَثَلاَثِيْنَ زَنْيَةً (رواه أحمد)

“Satu dirham yang dimakan oleh seseorang dari transaksi riba sedangkan dia mengetahui, lebih besar dosanya daripada melakukan perbuatan zina sebanyak 36 kali.” (H.R. Ahmad)

الرِّبَا ثَلاَثَةٌ وَسَبْعُوْنَ بَابًا أيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرُّجُلُ أُمَّهُ وَإِنْ أَرْبَى الرِّبَا عِرْضُ الرَّجُلِ الْمُسْلِمِ (رواه الحاكم)

“Riba itu ada 73 pintu (dosa). Yang paling ringan adalah semisal dosa seseorang yang menzinai ibu kandungnya sendiri. Sedangkan riba yang paling besar adalah apabila seseorang melanggar kehormatan saudaranya.” (H.R. Al Hakim)

Dari Jabir bin ‘Abdillah , berkata:

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ (رواه مسلم)

Rasulullah  melaknat pemakan riba (rentenir), orang yang menyerahkan riba (nasabah), pencatat riba (sekretaris) dan dua orang saksinya.” Beliau mengatakan, “Mereka semua itu sama. (H.R. Muslim)

Mengingat besarnya bahaya riba ini, maka setiap pelaku bisnis harus mengetahui masalah ini.

Umar bin Khaththab  berkata:

لَا يَتَّجِرْ فِي سُوقِنَا إلَّا مَنْ فَقِهَ أَكْلَ الرِّبَا

Janganlah seseorang berdagang di pasar kami sampai dia paham betul mengenai seluk beluk riba.

Ali bin Abi Thalib  berkata:

مَنْ اتَّجَرَ قَبْلَ أَنْ يَتَفَقَّهَ ارْتَطَمَ فِي الرِّبَا ثُمَّ ارْتَطَمَ ثُمَّ ارْتَطَمَ

Barangsiapa yang berdagang namun belum memahami ilmu agama, maka dia pasti akan terjerumus dalam riba, kemudian dia akan terjerumus ke dalamnya dan terus menerus terjerumus. (Mughnil Muhtaj, 6/310)

إِذَا ظَهَرَ الزِّناَ وَالرِّبَا فِي قَرْيَةٍ فَقَدْ أَحَلُّوْا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللهِ (رواه الحاكم)

“Apabila zina dan riba sudah merajalela di suatu negeri, maka mereka telah menghalalkan dirinya untuk menerima adzab Allah.” (H.R. Al Hakim)

Larangan riba ini bukan hanya dalam agama Islam, dalam agama Yahudi, dalam Perjanjian Lama terdapat ayat: “Jikalau kamu memberi pinjaman uang kepada saudaramu, yaitu kepada orang-orang miskin yang di antara kamu, maka jangan kamu menjadi baginya seperti penagih utang yang keras, dan jangan ambil bunga darinya.” (Kitab Keluaran, Pasal 22, ayat 25)

Di kalangan agama Kristen juga demikian, misalnya dalam kitab Injil Lukas disebutkan: “Tetapi hendaklah kamu mengasihi seterumu, dan berbuat baik, dan memberi pinjam dengan tiada berharap akan menerima balik, maka berpahala besarlah kamu kelak.” (Lukas 6: 35)

Tetapi tangan-tangan usil telah sampai kepada Perjanjian Lama, sehingga mereka menjadikan kata “Saudaramu” di atas dikhususkan buat orang-orang Yahudi, sebagaimana disebutkan dalam Kitab Ulangan: “Maka daripada orang lain bangsa boleh kamu mengambil bunga, tetapi daripada saudaramu tak boleh kamu mengambil dia.” (Pasal 23, ayat 20)

E. Hikmah Diharamkan Riba

Jika Islam memperketat urusan riba dan memperkeras keharamannya, sesungguhnya ia bermaksud memelihara kemashlahatan manusia baik mengenai akhlak, hubungan sosial, maupun ekonominya.

Para ulama menyebutkan beberapa alasan rasional mengenai hikmah diharamkannya riba. Penjelasan ini kemudian diperkuat oleh kajian-kajian kontemporer. Tetapi kami rasa cukup apa yang dikemukakan oleh Imam Ar-Razi dalam tafsirnya, sebagai berikut:

Pertama: bahwa riba adalah mengambil harta orang lain tanpa imbalan, karena orang yang menjual satu dirham dengan dua dirham berarti dia mendapatkan tambahan satu dirham tanpa imbalan apa-apa. Sedang harta seseorang merupakan standar hidupnya yang memiliki kehormatan besar dan mengambil harta orang lain tanpa imbalan sudah pasti haram.

Kedua: bahwa bergantung kepada riba akan menghalangi orang dari melakukan usaha, karena apabila pemilik uang sudah dapat menambah hartanya dengan melakukan transaksi riba,  baik tambahan itu diperoleh secara kontan atau berjangka, maka dia akan meremehkan persoalan mencari penghidupan, sehingga nyaris dia tidak mau menanggung resiko berusaha, berdagang, dan pekerjaan-pekerjaan yang berat. Hal ini akan mengakibatkan terputusnya kemanfaatan bagi masyarakat. Dan sudah dimaklumi bahwa kemaslahatan dunia tidak akan dapat diwujudkan kecuali dengan adanya perdagangan, keterampilan, perusahaan, dan pembangunan.

Ketiga: bahwa riba akan menyebabkan terputusnya kebaikan antar masyakat dalam bidang pinjam-meminjam. Karena apabila riba diharamkan maka hati akan merasa rela meminjamkan uang satu dirham dan kembalinya juga satu dirham. Sedangkan jika riba dihalalkan, maka kebutuhan orang yang terdesak akan mendorongnya untuk mendapatkan uang satu dirham dengan pengembalian dua dirham. Hal demikian ini sudah barang tentu akan menyebabkan terputusnya perasaan belas kasihan, kebaikan dan kebajikan.

Keempat: pada umumnya orang yang memberikan pinjaman adalah orang kaya, sedang yang meminjam adalah orang miskin. Pendapat yang memperbolehkan riba berarti memberikan jalan bagi orang kaya untuk memungut tambahan harta dari orang miskin yang lemah. Padahal tindakan demikian itu tidak diperbolehkan menurut asas kasih sayang Yang Maha Penyayang.

Ini semua dapat diartikan bahwa di dalam riba terdapat unsur pemerasan terhadap orang yang lemah untuk kepentingan orang yang kuat. Akibatnya yang kaya bertambah kaya dan yang miskin bertambah miskin. Hal ini akan mengarah kepada tindakan membesarkan satu kelas masyarakat atas pembiayaan kelas lain yang pada gilirannya akan menciptakan kedengkian dan sakit hati, akan menyulut api permusuhan antara sebagian masyarakat terhadap sebagian yang lain, bahkan dapat menimbulkan pemberontakan dari kelompok ekstrem dan fundamentalis.

Sejarah juga telah mencatat bagaimana bahaya riba dan pemakan riba terhadap politik, hukum, keamanan nasional dan internasional.

F. Alasan Pembenaran Pengambilan Riba

Sekalipun ayat-ayat dan hadits riba sudah sangat jelas dan sharih, masih ada beberapa orang yang mencoba untuk memberikan pembenaran atas pengambilan bunga uang, di antaranya karena alasan berikut.

  1. Dalam keadaan darurat, bunga halal hukumnya.
  2. Hanya bunga yang berlipat ganda saja yang dilarang, sedangkan suku bunga yang “wajar” dan tidak mendzalimi, diperkenankan.
  3. Bank, sebagai lembaga, tidak masuk dalam kategori mukallaf. Dengan demikian, tidak terkena khitab (yang dituju) oleh ayat dan hadits riba.
  1. Darurat

Untuk memahami pengertian darurat, kita seharusnya melakukan pembahasan yang komprehensif tentang pengertian darurat seperti yang dinyatakan syara’ bukan pengertian sehari-hari terhadap istilah ini.

  • Imam Suyuthi dalam bukunya, Al Ashbah wan Nadzair menegaskan bahwa darurat adalah suatu keadaan emergency (terpaksa) di mana jika seseorang tidak segera melakukan sesuatu tindakan dengan cepat akan membawanya ke jurang kehancuran atau kematian.
  • Dalam literatur klasik, keadaan emergency (terpaksa) ini sering dicontohkan dengan seseorang yang tersesat di hutan dan tidak ada makanan lain kecuali daging babi yang diharamkan. Dalam keadaan darurat demikian Allah menghalalkan daging babi dengan dua batasan yaitu tidak menginginkan dan tidak melampaui batas.

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang disebut selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa  sedang dia tidak menginginkannya dan tidak melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 173).

Pembatasan yang pasti terhadap pengambilan dispensasi darurat ini harus sesuai dengan metodologi Ushul Fiqh, terutama penerapan al Qawaid al Fiqhiyyah seputar keadaan darurat.

Sesuai dengan ayat di atas, para ulama merumuskan kaidah:

اَلضَّرُورَاتُ تُقّدَّرُ بِقَدَرِهَا

“Darurat itu harus dibatasi sesuai kadarnya”.

Artinya, darurat itu ada masa berlakunya serta ada batasan ukuran dan kadarnya. Contohnya, seandainya di hutan ada sapi atau ayam, dispensasi untuk memakan daging babi menjadi hilang. Demikian juga seandainya untuk mempertahankan hidup cukup dengan tiga suap, tidak boleh melampui batas hingga tujuh atau sepuluh suap, apalagi jika dibawa pulang dan dibagi-bagikan kepada tetangganya.

  1. Berlipat Ganda

Ada pendapat bahwa bunga hanya dikategorikan riba bila sudah berlipat ganda dan memberatkan, sedangkan bila kecil dan wajar maka dibenarkan. Pendapat ini berasal dari pemahaman yang keliru atas surat Ali Imran ayat 130:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (ال عمران [٣]: ١٣٠)

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (Q.S. Ali Imran [3]: 130)

Sepintas, surah Ali Imran 130 ini memang hanya melarang riba yang berlipat ganda. Akan tetapi, memahami kembali ayat tersebut secara cermat termasuk mengaitkannya dengan ayat-ayat riba lainnya secara komprehensif, serta pemahaman terhadap fase-fase pelarangan riba secara menyeluruh, akan sampai pada kesimpulan bahwa riba dalam segala bentuk dan jenisnya mutlak diharamkan.

  • Kriteria berlipat ganda dalam ayat ini harus dipahami sebagai hal atau sifat dari riba dan sama sekali bukan merupakan syarat. Syarat berarti kalau terjadi pelipatgandaan maka riba, jika kecil maka tidak riba.
  • Menanggapi hal ini, Dr. Abdullah Draz, dalam Konferensi Fiqih Islam di Paris tahun 1978, menegaskan kerapuhan asumsi syarat tersebut. Ia menjelaskan secara linguistik (ضعف) arti “kelipatan”. Sesuatu berlipat minimal 2 kali lebih besar dari semula, sedangkan (أضعاف) adalah bentuk jamak dari kelipatan tadi. Minimal jamak adalah 3, dengan demikian, (أضعافا) berarti 3×2=6. Adapun (مضاعفة) dalam ayat adalah ta’kid untuk penguatan.

Dengan demikian, menurutnya, kalau berlipat ganda itu dijadikan syarat maka sesuai dengan konsekuensi bahasa, minimum harus 6 kali atau bunga 600%. Secara operasional dan nalar sehat, angka itu mustahil terjadi dalam proses perbankan maupun simpan pinjam.

  • Menanggapi pembahasan surah Ali Imran ayat 130 ini, Syekh Umar bin Abdul Aziz Al Matruk, menegaskan, “Adapun yang dimaksud dengan aya 130 surah Ali Imran, termasuk redaksi berlipat ganda dan penggunaannya sebagai dalil, sama sekali tidak bermakna bahwa riba harus sedemikian banyak. Ayat ini menegaskan tentang karakteristik riba secara umum bahwa ia mempunyai kecenderungan untuk berkembang dan berlipat sesuai dengan berjalannya waktu. Dengan demikian, redaksi ini (berlipat ganda) menjadi sifat umum dari riba dalam terminologi syara (Allah dan Rasul-Nya).
  • Sami Hasan Hamoud menjelaskan bahwa bangsa Arab di samping melakukan pinjam meminjam dalam bentuk uang dan barang bergerak juga melakukannya dalam ternak. Mereka biasa meminjamkan ternak berumur 2 tahun (bint makhad) dan meminta kembalian berumur 3 tahun (bint labun). Kalau meminjamkan bint labun, meminta kembalian haqqah (berumur 4 tahun). Kalau meminjamkan haqqah, meminta kembalian jadzaah (berumur 5 tahun).

Kriteria tahun dan umur ternak terkadang loncat dan tidak harus berurutan bergantung pada kekuatan supply and demand (permintaan dan penawaran) di pasar. Dengan demikian, kriteria tahun bisa berlipat dari ternak berumur 1 ke 2, bahkan ke 3 tahun.

Perlu difahami pula bahwa penggunaan kaidah mafhum mukhalafah (logika terbalik) dalam konteks Ali Imran: 130 sangatlah menyimpang, baik dari siyaqul kalam, konteks antar ayat, kronologis penururunan wahyu, maupun sabda sabda Rasulullah  seputar pembungaan uang serta praktik riba pada masa itu.

Secara sederhana, jika kita menggunakan logika mafhum mukhlafah yang berarti konsekuensi secara terbalik, jika berlipat ganda dilarang, kecil boleh; jika tidak sendirian, bergerombol; jika tidak di dalam, di luar; dan sebagainya- kita akan salah kaprah dalam memahami pesan-pesan Allah .

Sebagai contoh, jika ayat larangan berzina kita tafsirkan secara mafhum mukhalafah.

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا (الإسراء [١٧]: ٣٢)

Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk. (Q.S. Al Israa; 32)

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ (المائدة [٥]: ٣)

Diharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, yang disembelih atas nama selain Allah.” (Q.S. Al-Maidah [5]: 3).

Janganlah mendekati zina! Yang dilarang adalah mendekati, berarti perbuatan zina sendiri tidak dilarang. Demikian juga larangan memakan daging babi.

Janganlah memakan daging babi! Yang dilarang adalah memakan dagingnya. Sedangkan tulang, lemak, dan kulitnya tidak disebutkan secara ekspilisit. Apakah berarti tulang, lemak, dan kulit babi halal?

Pemahaman pesan-pesan Allah seperti ini jelas sangat  membahayakan karena seperti dikemukakan di atas, tidak mengindahkan siyaqul kalam, kronologis, penurunan wahyu, konteks antar ayat, sabda-sabda Rasulullah  seputer subjek pembahasan, demikian juga displin ilmu bayan, badi’ dan maani.

Di atas itu semua harus pula dipahami sekali lagi bahwa aya 130 surat Ali Imran diturunkan  pada tahun ke-3 H. Ayat ini harus dipahami bersama ayat 278-279 dari Al-Baqarah yang turun pada tahun ke-9 H. Para Ulama menegaskan bahwa pada ayat terakhir tersebut merupakan “pamungkas” untuk segala bentuk, ukuran, kadar dan jenis riba.

  1. Badan Hukum dan Hukum Taklif

Ada sebagian Ulama yang berpendapat bahwa ketika ayat riba turun dan disampaikan di Jazirah Arabia, belum ada bank atau lembaga keuangan, yang ada hanyalah individu-individu, dengan demikian perusahaan-perusahaan perbankan tidak terkena hukum taklif karena pada saat Nabi  hidup belum ada.

Pendapat ini jelas memiliki banyak kelemahan, baik dari sisi historis maupun teknis.

  1. Tidaklah benar bahwa pada zaman pra-Rasulullah tidak ada ‘badan hukum’ sama sekali. Sejarah Romawi, Persia, dan Yunani menunjukkan ribuan lembaga keuangan yang mendapat pengesahan dari pihak penguasa. Dengan kata lain, perseroan mereka telah masuk ke lembaran negara.
  2. Dalam tradisi hukum, perseroan atau badan hukum sering disebut sebagai juridical personality atau syakhsiyah hukmiyah. Juridical personality ini secara hukum adalah sah dan dapat mewakili individu-individu secara keseluruhan.

Dilihat dari sisi mudharat dan manfaat, perusahaan dapat melakukan mudharat lebih besar dari perseorangan. Kemampuan seorang pengedar narkotika dibandingkan dengan sebuah lembaga mafia dalam memproduksi, mengekspor, dan mendistribusikan obat-obat terlarang tidaklah sama; lembaga mafia jauh lebih besar dan berbahaya. Alangkah naifnya bila kita menyatakan bahwa apa pun yang dilakukan lembaga mafia tidak dapat terkena hukum taklif karena bukan insan mukallf. Memang, ia bukan insan mukallaf, tetapi melakukan fi’il mukallaf yang jauh lebih besar dan berbahaya. Demikian juga dengan lembaga keuangan, apa bedanya antara seorang renternir dengan lembaga rente. Kedua-duanya lintah darat yang mencekik rakyat kecil. Bedanya, rentenir dalam skala kecil dan terbatas, sedangkan lembaga perbankan luas dan global.

XII. Rapuhnya Perekonomian Berbasis Riba

Firman Allah :

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (Q.S. Al-Baqarah, 2: 275)

Pada ayat ini Allah  menginformasikan pribadi orang yang hidup dari riba. Dia hidup seperti orang yang dirasuki setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Ayat ini disesuaikan dengan keyakinan bangsa Arab Jahiliyyah bahwa setan atau jin dapat masuk ke dalam tubuh manusia dan membuatnya mejadi gila. Orang yang hidup dari riba diumpamakan orang gila disebabkan dia dimabukkan oleh kecintaan kepada harta dan setelah harta mampu memperbudak pikirannya, jiwanya menjadi ganas, ingin menguasai orang lain dan perilakunya tidak lagi mengindahkan nilai kemanusiaan.

Sebagai gambaran kecil, Ahmad Musthafa Al-Maraghi mencontohkan aktivitas orang yang sedang bertransaksi di pasar bursa. Gerakan dan sikapnya lincah dan serius. Dari celah aktivitas dan sikap mereka yang lincah dapat kita saksikan gerakan yang tidak teratur. Orang Arab mengistilahkan orang yang suka berbuat tidak teratur (ngawur) itu sebagai gila.

Para ulama menyatakan bahwa orang yang hidup dari riba, akan dibangunkan di hari kiamat dalam keadaan gila. Diriwayatkan oleh Imam Thabrani dalam hadits marfu’ dari Auf bin Malik , sebagai berikut:

إِيَّاكَ وَالذُّنُوبَ الَّتِى لاَ تُغْفَرُ اَلْغُلُولُ – اَلْخِيَانَةُ فِى مَغْنَمٍ وَغَيْرِهِ – فَمَنْ غَلَّ شَيْأً أَتَى بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَ الرِّبَا فَمَنْ أَكَلَ الرِّبَا بُعِثَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَجْنُونًا يَتَخَبَّطُ.

“Hati-hatilah kamu terhadap dosa-dosa yang tidak tidak bisa diampuni: khianat terhadap bagian orang lain, barangsiapa yang berkhianat mengambil sesuatu, maka kelak di hari kiamat akan didatangkan; dan riba, barangsiapa yang memakan riba, esok hari kiamat ia akan dibangunkan dalam keadaan gila, membabi buta.”

Riba atau bunga menurut bahasa adalah penambahan. Sedang menurut syari’ah adalah penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riil.

Ayat di atas adalah salah satu ayat yang menunjukkan haramnya riba. Sebagian orang beranggapan bahwa riba itu dibolehkan dengan syarat penambahannya (bunganya) tidak berlipat ganda dan memberatkan. Anggapan ini berasal dari pemahaman yang keliru atas firman Allah :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُّضَاعَفَةً ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (ال عمران [٣]:١٣٠)

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung. (Q.S. Ali Imran [3]: 130)

Sepintas ayat ini memang hanya melarang riba yang berlipat ganda. Akan tetapi apabila kita memahaminya secara lebih komprehensif dan mendalam, akan sampai kepada kesimpulan bahwa riba dalam segala bentuknya mutlak diharamkan.

Kriteria berlipat ganda pada ayat bukanlah syarat, tetapi hal (حال) atau sifat umum dari praktek pembungaan uang. Syarat berarti kalau terjadi pelipatgandaan makan riba, jika tidak berlipatganda maka tidak riba.

Menanggapi hal ini, Dr. Abdullah Druz, dalam Konferensi Fiqh Islam di Paris tahun 1978, menegaskan kerapuhan asumsi syarat tersebut. Ia menjelaskan secara linguistik kata ضعف (kelipatan). Sesuatu berlipat minimal dua kali lebih besar dari semula, sedangkan kata أضعاف adalah bentuk jamak dari kelipatan tadi. Minimal jamak adalah 3. Dengan demikian, أضعاف berarti 3 x 2 = 6 kali. Adapun kata مضاعفة adalah ta’kid untuk menguatkan. Menurutnya kalau berlipat ganda itu dijadikan syarat, maka sesuai dengan konsekuensi bahasa, minimum harus 6 kali atau bunga 600%. Secara nalar dan operasional, angka itu mustahil dalam proses perbankan maupun simpan pinjam.

Dampak Negatif Riba dalam Kehidupan Masyarakat

Riba adalah masalah sosial yang paling besar yang menghancurkan sendi-sendi kehidupan masyarakat. Orang Yahudi mempraktekkan riba dengan orang non Yahudi. Orang Nasrani mempraktekkan riba dengan antar mereka sendiri dan selain mereka.

Dalam hal ini, umat Islam berhasil membersihkan diri dari praktek riba ini sejak masyarakat Islam berkembang di Madinah sampai runtuhnya Daulah Turki Utsmani. Setelah runtuhnya Daulah Turki Utsmani, hampir seluruh sendi-sendi masyarakat Islam mengikuti pola Barat termasuk di bidang ekonomi.

Karena perekonomian Barat mempraktekkan ekonomi yang berbasis riba maka di abad modern ini riba telah menyebar di seluruh wilayah Islam. Hal ini disebabkan para penguasa negeri-negeri muslim memaksa rakyatnya untuk melakukan kontak dengan urusan riba sehingga riba dianggap sebagai hal yang biasa bahkan sesuatu kelaziman dalam praktek perekonomian mereka.

Islam mengharamkan riba karena sangat membahayakan kehidupan masyarakat, di antaranya:

  1. Menyengsarakan dan menghancurkan masyarakat

Al-Maududi mengatakan bahwa riba merupakan sumber bahaya dan kejahatan. Riba akan menyengsarakan dan menghancurkan masyarakat melalui pengaruhnya terhadap karakter manusia. Di antaranya, riba menimbulkan perasaan cinta terhadap uang dan hasrat untuk mengumpulkan harta bagi kepentingannya sendiri tanpa mengindahkan peraturan dan peringatan Allah . Riba menumbuhkan sikap egois, bakhil, berwawasan sempit, serta berhati batu.

  1. Menjadikan nilai uang masa mendatang lebih rendah dibanding masa sekarang

Beberapa ahli ekonomi berpendapat bahwa manusia pada dasarnya lebih mengutamakan kehendaknya sekarang dibanding kehendaknya di masa depan.

Kalangan inilah yang menjelaskan fenomena riba dengan rumusan yang dikenal dengan menurunnya nilai barang di waktu mendatang dibanding dengan nilai barang di waktu kini. Singkatnya mereka menganggap riba sebagai agio atau selisih nilai yang diperoleh dari barang-barang pada waktu sekarang terhadap perubahan atau penukaran barang di waktu yang akan datang.

  1. Menghambat profesionalisme kerja yang sebenarnya.

Riba bisa menghambat seseorang dalam mengambil profesi yang sebenarnya, maksudnya, orang yang mempunyai uang dan bisa mengembangkan kekayaannya dengan jalan riba maka orang tersebut akan meremehkan kerja. Sebab penghasilan dapat mereka tempuh melalui riba. Akhirnya ia terbiasa dengan kemalasan, dan membenci pekerjaan.

  1. Melahirkan permusuhan, saling membenci dan pertengkaran.

Riba dapat melahirkan permusuhan, saling membenci, dan pertengkaran. Sebab riba mencabut perasaan belas kasihan dari hati dan mencemarkan harga diri. Lantaran riba, perasaan saling menolong akhirnya menjadi lenyap dan sebagai gantinya muncul rasa kejam dan sadis yang tidak berperikemanusiaan.  Sehingga apabila terdapat orang yang kelaparan, tidak ada seorangpun yang mau menolongnya. Inilah yang mengakibatkan munculnya gap yang makin lebar antara negara maju dan negara terbelakang yang sampai saat ini.

  1. Menghilangkan keberkahan harta

Berkah dalam harta adalah berkembang dan bertambahnya kebaikan yang ditimbulkan oleh harta, sedangkan riba akan menghilangkan berkah tersebut. Orang yang mendapatkan harta melalui riba maka hartanya akan membuat hidupnya semakin sengsara. Fenomena inilah yang kita lihat di dunia modern ini. Di mana banyak orang yang menderita bahkan bunuh diri di tengah-tengah tumpukan harta yang mereka miliki. Allah  berfirman:

وَمَا آتَيْتُم مِّن رِّبًا لِّيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِندَ اللَّهِ ۖ وَمَا آتَيْتُم مِّن زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ (الروم [٣٠]: ٣٩)

Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar harta manusia bertambah, maka tidak bertambah dalam pandangan Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk memperoleh keridhaan Allah, maka itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya). (Q.S. Ar-Rum [30]: 39)

Bahaya yang ditimbulkan oleh riba itulah yang menyebabkan krisis perekonomian yang berkepanjangan di abad ke-20 ini. Kehancuran sektor swasta di Indonesia dalam krisis ekonomi pada akhir tahun 1990-an antara lain disebabkan melonjaknya beban bunga atau riba. Struktur bunga tetap untuk jangka waktu panjang pun dapat menghancurkan perusahaan yang tengah berkembang bila keuntungan yang diperolehnya tidak cukup untuk menutupi beban bunga tersebut.

Krisis ekonomi yang saat ini menimpa Amerika Serikat yang kemudian merambah ke sejumlah negara termasuk Indonesia, saat ini juga membuktikan betapa rapuhnya sistem perekonomian yang berbasis riba tersebut.

Menurut Imam Sugema, ekonom IPB, ada tiga kiamat yang menimpa perekonomian dunia akibat krisis finansial yang bermula dari Amerika Serikat, yang boleh jadi menjadi penyebab turning point atau titik balik perekonomian nasional pada 2009.

Kiamat pertama adalah property doom atau kiamat properti, yang ditandai dengan jatuhnya harga properti di Amerika Serikat.

Kiamat kedua adalah financial doom atau kiamat finansial, yang ditandai dengan menurunnya indeks bursa dunia pascakrisis dan belum menunjukkan tanda akan pulih sepenuhnya dalam waktu dekat. Beberapa bursa mengalami penurunan indeks lebih dari 30%, seperti Cina (62,9%), Jepang (38,3%), dan Jerman (35,6%).

Kiamat ketiga adalah commodity doom, di mana harga sejumlah komoditas mengalami penurunan, seperti turunnya harga CPO dan kopi robusta sejak Juli 2008, masing-masing sebesar 61,9% dan 15%.

Kondisi ini mengakibatkan terjadinya dry up pada likuiditas global, di mana banyak perusahaan keuangan besar dunia menarik likuiditasnya demi mengatasi kerugian yang terjadi. Tidak hanya itu, perusahaan-perusahaan di sektor riil pun terganggu.

Hal tersebut ditandai dengan semakin melemahnya permintaan di sejumlah pasar tujuan ekspor, seperti Uni Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat. Memang jika dianalisis, kinerja perdagangan bilateral Indonesia dan Amerika Serikat tidak terlalu memengaruhi kinerja ekspor nasional. Ini karena total ekspor kita ke Amerika Serikat hanya 9-10 persen dalam dua tahun terakhir, di mana angka ini kurang dari tiga persen PDB kita.

Namun, melemahnya perekonomian Amerika Serikat membawa efek berantai pada sejumlah negara mitra dagang Indonesia. Dengan lemahnya permintaan di negara-negara tersebut, tidaklah mengherankan jika persentase tren ekspor Indonesia turun, bahkan drop 11,6 persen per Oktober 2008.

Diperkirakan memasuki semester pertama 2009 akan terjadi gelombang PHK besar-besaran, sebagaimana yang diprediksi Aviliani, akibat berakhirnya kontrak ekspor sejumlah perusahaan Indonesia. Jika ini terjadi, angka pengangguran diperkirakan akan naik. Sudah pasti keadaan ini akan mengundang demonstrasi buruh dalam skala yang lebih besar. Dipastikan kondisi sosial ekonomi bangsa ini akan semakin berat.

Kembali Kepada Sistem Ekonomi Islam

Islam hadir dengan berbagai perlengkapan ajaran yang bersifat multidimensional karena akan menjadi tempat berpijak bagi peradaban manusia. Tantangan bagi kemanusiaan pada hakikatnya hampir tidak berbeda dari masa ke masa, hanya kemasan dan coraknya saja yang berbeda. Begitu pula dalam bidang ekonomi, Islam menantang sistem-sistem yang berlaku di dunia khususnya pada saat Nabi Muhammad  diutus.

Di dalam Islam, sebagaimana semua jenis kerja rekayasa, aktivitas ekonomi adalah bentuk ibadah manusia untuk mencapai kebahagiaan di akhirat kelak melalui proses-proses keduniawian yang sangat kompleks. Allah  menegaskan kepada manusia untuk mencari kebahagiaan akhirat dari apasaja kekayaan yang diberikan kepada mereka di dunia:

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ (القصص [٢٨]: ٧٧)

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”(Q.S. Al-Qashash, 28: 77)

Dalam perspektif Islam, aktivitas ekonomi bersifat universal, artinya tidak hanya untuk menyejahterakan kaum muslimin belaka tetapi untuk seluruh umat manusia.

Rasulullah  bertransaksi ekonomi dengan siapapun termasuk orang Yahudi bahkan sampai ke persoalan hutang. Utsman bin Affan  berdagang lintas negara dengan membawa komoditi perdagangan dalam jumlah yang sangat besar. Surat Al-Quraisy [106] ayat 1–4 mencerminkan pola perdagangan internasional di kalangan bangsa Arab pada umumnya pada musim dingin maupun musim panas. Pola perdagangan ini tidak berubah pada zaman Islam. Islam menggariskan dalam berinteraksi dengan segala jenis manusia di muka bumi ini. Pilar pertamanya ibadah, dan pilar keduanya adalah keadilan.

Oleh karena itu Rasulullah  senantiasa memperhatikan tingkah laku orang yang bekerja di bidang perekonomian dengan menekankan perlunya dibangun sikap keadilan ini. Beliau sering mengancam orang-orang yang berbuat korupsi, menimbun, spekulasi, dan lain-lainnya dengan ancaman yang pedih di akhirat nanti.

Dalam bidang perekonomian, Islam telah memberikan beberapa prinsip dasar, di antaranya:

  1. Kepemilikan hanyalah ada di tangan Allah . Oleh karenanya, manusia boleh mengolah alam semesta ini dengan keadilan bagi seluruh manusia dan tidak boleh ada penguasaan mutlak atas harta benda yang mereka miliki. Konsekuensi dari hal ini tercermin dalam konsep zakat, pengelolaan tanah, penguasaan barang-barang strategis, dan lain-lain.
  2. Modal menurut Islam, hendaknya dapat bergerak dan berputar di antara manusia melalui mekanisme yang tersedia, misalnya pewarisan, perdagangan, hadiah, dan lain-lain, sehingga jurang perbedaan antara kaya dan miskin tidak terlalu dalam. Meskipun tidak berpretensi untuk ditiadakan sama sekali.
  3. Transaksi ekonomi di antara manusia tidak boleh bersifat merugikan satu sama lain, dan oleh karenanya, Islam mengutuk penipuan dalam perdagangan, monopoli, perdagangan fiktif, dan lain-lain.
  4. Institusi riba sangat ditolak dengan keras, juga hal-hal lainnya yang berbau riba dalam sistem perekonomian manusia, karena riba ini telah menjadi alat pemerasan sepanjang sejarah kemanusiaan.
  5. Kerjasama-kerjasama ekonomi dibolehkan dalam berbagai bentuknya (mudharabah, murabahah, musyarakah, ) di atas prinsip taawun (saling menolong) dan takaful (saling menanggung).
  6. Campur tangan ‘ulil amri terhadap pasar adalah campur tangan regulatif yang bersifat moral. Di antaranya adalah sistem dan mekanisme pengawasan yang diterapkan kepada tingkah laku para pelaku pasar, sehingga pasar dapat berlangsung dengan sehat. Rasulullah pernah menolak untuk ikut campur dalam penentuan harga pasar, dan Umar bin Khaththab  pernah memeriksa pedagang-pedagang di pasar dan mengusir mereka yang tidak memahami prinsip-prinsip Islam dalam aktivitas perekonomian.

Menurut Ibn Khaldun, aktivitas perekonomian akan terjadi kesenjangan apabila para pejabat pemerintah ikut terjun langsung dalam dunia perdagangan dan permainan pasar. Ibn Khaldun menganalisa beberapa bahaya dari fenomena ini, yaitu:

  1. Rakyat pedagang akan mendapat kesulitan untuk memperoleh barang dagangan, karena kalah bersaing dengan para pejabat yang berdagang dengan modal besar serta fasilitas dan kekuasaan yang dimiliki.
  2. Pejabat dan penguasa dapat memaksakan kebijakan-kebijakannya kepada petani atau pedagang dalam memenuhi keuntungan perdagangannya sendiri sehingga mengacaukan harga pasar.
  3. Modal dan harta para pedagang, dan petani akan terus menerus tersedot pada kerugian-kerugian akibat perdagangan yang tidak sehat itu sampai akhirnya habis sama sekali dan menjadi orang miskin.
  4. Pada akhirnya timbul frustasi yang tinggi dari kalangan petani dan pedagang dan mereka tidak mau terlibat lagi dalam dunia itu yang berarti menambah masalah baru karena bertambahnya jumlah pengangguran atau kemiskinan.

Prinsip-prinsip ekonomi Islam telah terbukti dapat mewujudkan kemakmuran masyarakat. Hal ini terbukti pada masa Umar bin Abdul Aziz , salah seorang raja dari Dinasti Bani Umayyah. Pada saat itu, kemakmuran dan keadilan dapat terwujud di seluruh wilayah negeri-negeri Islam. Indikator kemakmuran yang ada saat itu antara lain tampak ketika para amil zakat berkeliling di perkampungan-perkampungan Afrika (benua termiskin saat ini), mereka tidak menemukan seorangpun yang mau menerima zakat. Negeri Islam saat itu benar-benar mengalami surplus bahkan sampai ke tingkat di mana utang-utang pribadi dan biaya pernikahan pun ditanggung oleh Baitul Maal.

Dalam kehidupan modern, prinsip-prinsip ekonomi Islam juga terbukti di Turki. Setelah Turki memberlakukan prinsip ekonomi Islam, walaupun belum secara kaffah, kemakmuran rakyat Turki meningkat pesat. Majalah Forbes terbaru mencatat bahwa Istambul, ibu kota ekonomi Turki, sebagai kota yang memiliki miliuner nomer empat terbanyak di dunia. Karena Islam mengajarkan si kaya harus memberikan sebagian pendapatannya kepada si miskin, maka amal pada Denize Feneri, satu dari badan amal terbesar Turki melonjak 100 kali lipat pada enam tahun terakhir. Pada tahun 2006 puncak itu tercapai dengan angka 60 juta dolar AS.

Mungkin Anda juga menyukai