Meneladani Ketabahan Nabi Ibrahim Alaihis Salam Dalam Menghadapi Ujian

Meneladani Ketabahan Nabi Ibrahim Alaihis Salam Dalam Menghadapi Ujian

Oleh: Imaamul Muslimin K.H. Yakhsyallah Mansur, M.A.

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Firman Allah :

وَإِذِ ابْتَلٰىٓ إِبْرٰهِـۧمَ رَبُّهُۥ بِكَلِمٰتٍ فَأَتَمَّهُنَّ  ۖ  قَالَ إِنِّى جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا  ۖ  قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِى  ۖ  قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِى الظّٰلِمِينَ (البقرة [٢]: ١٢٤)

“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu dia melaksanakannya dengan sempurna. Dia (Allah) berfirman, Sesungguhnya Aku menjadikan engkau sebagai pemimpin bagi seluruh manusia. Dia (Ibrahim) berkata, Dan (juga) dari anak cucuku? Allah berfirman, (Benar, tetapi) janji-Ku tidak berlaku bagi orang-orang zalim.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 124)

Penjelasan

Pada ayat ini Allah  menjelaskan keagungan dan ketinggian Nabi Ibrahim  yang diuji oleh Allah  dengan berbagai cobaan dan dapat beliau lalui dengan gemilang.

Sosok Nabi Ibrahim

Nabi Ibrahim  merupakan sosok teladan utama bagi umat Islam. Dikatakan bahwa nama Ibrahim berasal dari bahasa Ibrani yang terdiri dari dua suku kata yaitu ib/ab (أب) dan rahim (راهيم). Jika disatukan nama itu mempunyai arti ayah yang penyayang. Beliau bergelar Khalilullah (kesayangan Allah) termasuk salah seorang rasul Ulul Azmi di samping Nuh, Musa, Isa dan Muhammad Alaihim Sholatu Wasallam.

Nama Ibrahim  diabadikan sebagai nama surat dalam Al-Qur’an (surat ke 14) dan disebut sebanyak 64 kali dalam Al-Qur’an.

Beliau dilahirkan 2510 Sebelum Hijrah di kota Ur, Iraq, meninggal pada usia 175 tahun dimakamkan di kota Hebron, Palestina.

Ibnu Asakir meriwayatkan bahwa Ibrahim  dijuluki Abu Adh-Dhaifah (Bapak orang yang lemah). Beliau diangkat menjadi rasul yang diutus kepada kaum Kaldan, di bawah kerajaan Babylonia (Iraq) yang diperintah oleh Namrudz, seorang raja bengis yang berkuasa secara absolut dan zalim.

Para ahli tarikh mencatat bahwa Nabi Ibrahim  mempunyai tiga isteri yaitu Sarah, Hajar dan Qanthura. Sarah melahirkan Ishaq yang menurunkan Ya’qub (Israil), dari Ya’qub lahir dua belas anak yang disebut Bani Israil. Hajar melahirkan Ismail yang menurunkan Nabi Muhammad . Sementara itu Qanthura melahirkan Zimran, Yaqsyan, Madan, Madyan, Syiqaq dan Syuh.

Ujian yang Dihadapi Nabi Ibrahim

Pada ayat ini Allah  menggunakan kata “al-ibtila” dalam memberikan ujian kepada Nabi Ibrahim .

Bala’ artinya adalah ujian untuk mengetahui sejauh mana kemampuan seseorang diuji dengan cara membebankan masalah berat kepadanya, apakah mau mengerjakan atau tidak.

Adapun kalimat arti aslinya menurut Ar-Raghib Al-Asfihani adalah pengertian yang dapat ditangkap dengan pendengaran atau penglihatan. Sedang kalimat yang dimaksud dalam ayat ini menurut Ahmad Musthafa Al-Maraghi adalah perintah dan larangan.

Al-Qur’an tidak menjelaskan masalah “kalimat” (perintah dan larangan) sehingga para ahli tafsir berbeda pendapat mengenai kalimat yang dimaksud, antara lain:

  1. Menyembelih putranya, Ismail dan kesiapannya untuk mentaati perintah Allah .
  2. Keberanian menumpas penyembah berhala dan menghancurkannya serta ketabahannya di tengah kobaran api.
  3. Meninggalkan istri dan putranya di lembah yang kering, gersang, dan tandus di Makkah tanpa seorang temanpun.
  4. Hijrah dari tanah penyembah berhala dan meninggalkan tanah kelahiran Babylonia pergi menuju tanah Palestina.
  5. Rangkaian manasik ibadah haji dan umrah

Hasan Al-Bashri berkata, “Ibrahim  telah diuji dengan kelap-kelip bintang, diapun lulus. Diuji dengan bulan, diapun lulus. Diuji dengan matahari, diapun lulus. Diuji dengan perintah meninggalkan negerinya ke Syam (Palestina), diapun lulus. Diuji dengan dilemparkan ke dalam kobaran api, diapun lulus. Diuji dengan perintah menyembelih anak kandungnya, diapun lulus. Diuji dengan khitan, padahal umurnya sudah 80 tahun, diapun lulus.”

Setelah semua ujian dilalui dan dipenuhi dengan sebaik-baiknya, Allah  berfirman: “Sesungguhnya aku menjadikanmu sebagai imam bagi seluruh manusia.”

Di sini kita mendapatkan pelajaran yang sangat dalam bahwa kedudukan yang mulia akan diberikan oleh Allah  kepada seseorang, ketika orang tersebut telah mengalami berbagai macam ujian berat dan dia mampu mengatasinya dengan baik.

Urgensi Imaam dalam Agama

Menurut Tafsir Al-Azhar yang dimaksud Imam pada ayat ini adalah Imamad Diniyyah (Kepemimpinan Agama), bukan kerajaan dan bukan dinasti yang dapat diturunkan kepada anak. Kekayaan harta bisa diwariskan kepada anak. Pangkat kerajaan boleh diturunkan, tetapi Imaamah sejati harus melalui ujian. Pada Q.S. As-Sajdah [32]: 24 Allah  berfirman:

وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا ۖ  وَكَانُوا بِئَايٰتِنَا يُوقِنُونَ

“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami selama mereka sabar. Mereka meyakini ayat-ayat Kami. (Q.S. As-Sajdah [32]: 24)

Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini sebagai berikut, “Artinya tatkala mereka (Bani Israil) bersabar menerima perintah Allah  dan meninggalkan apa yang dilarang dan membenarkan apa yang dibawa para rasul dan bersedia mengikuti mereka, maka timbullah dari kalangan mereka pemimpin yang akan menunjukkan jalan kepada kebenaran dengan perintah Allah , menyeru kepada kebaikan, menyuruh orang berbuat makruf, dan mencegah berbuat mungkar. Tetapi ketika mereka mengganti, menukar, dan menta’wilkan arti ayat suci dari maksud yang sebenarnya, Allah  mencabut maqam kepemimpinan itu dan jadilah hati mereka keras dan kasar sehingga berani merubah ayat-ayat Allah  dari tempat yang sebenarnya maka mereka tidak lagi beramal shalih dan berakidah yang benar.”

Oleh karena itu ketika Nabi Ibrahim  meminta kepada Allah  agar Imamah diberikan juga kepada anak cucunya, Allah  menjawab, “Tidaklah akan mencapai perjanjian-Ku kepada orang-orang yang zalim.”

Permintaan beliau dikabulkan oleh Allah , bahwa di kalangan keturunannya ada yang dijadikan sebagai Imam sebagai pelanjutnya tetapi janji itu tidak berlaku bagi keturunannya yang zalim yaitu yang tidak mengikuti petunjuk Allah  sehingga menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya.

Keturunan beliau terbagi menjadi dua, yaitu Bani Ismail dan Bani Israil. Pada dua cabang keturunan ini terdapat banyak orang yang menjadi Imam panutan manusia dengan diangkat oleh Allah  menjadi nabi, seperti Yusuf, Musa, Daud, Sulaiman, Isa  dari Bani Israil dan terakhir Nabi Muhammad  dari Bani Ismail. Tetapi dari keturunan beliau juga ada yang zalim seperti kaum Zionis saat ini.

Keberadaan Imam ini sangat penting karena misi utama sebagai seorang nabi adalah menegakkan agama dengan tidak berpecah dalam beragama, sebagaimana firman-Nya:

شَرَعَ لَكُمْ مِّنَ الدِّينِ مَا وَصّٰى بِهِۦ نُوحًا وَالَّذِىٓ أَوْحَيْنَآ إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِۦٓ إِبْرٰهِيمَ وَمُوسٰى وَعِيسٰىٓ ۖ  أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِۚ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِۚ اللَّهُ يَجْتَبِىٓ إِلَيْهِ مَنْ يَشَآءُ وَيَهْدِىٓ إِلَيْهِ مَنْ يُنِيبُ (الشورى [٤٢]: ١٣)

“Dia (Allah) telah mensyariatkan kepadamu agama yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan ‘Isa, yaitu tegakkanlah agama (keimanan dan ketakwaan) dan janganlah kamu berpecah-belah di dalamnya. Sangat berat bagi orang-orang musyrik (untuk mengikuti) agama yang kamu serukan kepada mereka. Allah memilih orang yang Dia kehendaki kepada agama tauhid dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya bagi orang yang kembali (kepada-Nya).” (Q.S. Asy-Syura [42]: 13)

Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan:

أَيْ وَصَى اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى جَمِيْعَ الْأَنْبِيَاءِ عَلَيْهِمُ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ بِالْإِئْتِلَافِ وَالْجَمَاعَةِ وَنَهَاهُمْ عَنِ الْإِفْتِرَاقِ وَالْإِخْتِلَافِ.

“Allah  telah berwasiat kepada seluruh Nabi  untuk rukun dan berjama’ah dan melarang mereka berpecah belah dan berselisih.”

Misi inilah yang dilanjutkan oleh Nabi Muhammad , nabi terakhir dan keturunan Nabi Ibrahim  yang paling mulia.

Dalam berbagai kesempatan beliau mengingatkan umatnya untuk menjaga persatuan dan menjauhi perpecahan. Persatuan merupakan benteng pertahanan dari ancaman kehancuran.

Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah  dalam beberapa hadis, antara lain:

عَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ وَإِيَّاكُمْ وَالْفُرْقَةَ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ مَعَ الْوَاحِدِ وَهُوَ مِنَ الْإِثْنَيْنِ أَبْعَدُ وَمَنْ أَرَادَ بُحْبُوحَةَ الْجَنَّةِ فَعَلَيْهِ بِالْجَمَاعَةِ (رواه أحمد)

“Kalian harus berjamaah dan menghindari perpecahan. Sesungguh-nya setan bersama orang yang sendirian dan dia akan lebih jauh dari dua orang. Barangsiapa yang ingin bertempat di tengah-tengah surga maka dia harus berjamaah.” (H.R. Ahmad)

Kehidupan berjamaah akan terwujud apabila ada Imam yang ditaati. Umar bin Khattab  berkata, “Wahai masyarakat Arab, ingatlah tanah, ingatlah tanah, beliau melanjutkan:

إِنَّهُ لَا إِسْلَامَ إِلَّا بِجَمَاعَةٍ، وَلَا جَمَاعَةَ إِلَّا بِإِمَارَةٍ، وَلَا إِمَارَةَ إِلَّا بِطَاعَةٍ، فَمَنْ سَوَّدَهُ قَوْمُهُ عَلَى الْفِقْهِ، كَانَ حَيَاةً لَهُ وَلَهُمْ، وَمَنْ سَوَّدَهُ قَوْمُهُ عَلَى غَيْرِ فِقْهٍ، كَانَ هَلَاكًا لَهُ وَلَهُمْ. (رواه الدارمى)

“Sesungguhnya tidak ada Islam kecuali dengan berjama’ah dan tidak ada jama’ah kecuali dengan kepemimpinan, dan tidak ada kepemimpinan kecuali dengan ketaatan. Barangsiapa diangkat sebagai pimpinan oleh kaumnya karena ilmu maka aku membawa kebaikan bagi dirinya dan kaumnya dan barangsiapa diangkat sebagai pemimpin oleh kaumnya bukan karena ilmu, maka dia akan menghancurkan dirinya dan kaumnya.” (H.R. Ad-Darimi)

Untuk mewujudkan kehidupan berjama’ah di bawah seorang Imaam tentu akan melalui berbagai macam ujian yang tidak ringan. Namun betapa pun beratnya ujian tersebut, pasti masih dalam batas kemampuan manusia karena tidak mungkin Allah membebankan umat di luar kemampuan manusia sebagaimana firman-Nya:

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ ۗ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِن نَّسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ ۖ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا ۚ أَنتَ مَوْلَانَا فَانصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ (البقرة [٢]: ٢٨٦)

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dia mendapat (pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya. (Mereka berdoa), “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami melakukan kesalahan. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebani kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah pelindung kami, maka tolonglah kami menghadapi orang-orang kafir.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 286)

والله أعلم بالصواب

Makalah ini disampaikan pada Acara TABLIGH AKBAR WILAYAH JABODETABEK

Bekasi, 22 Dzulhijjah 1439 H-2 September 2018 M

Mungkin Anda juga menyukai